Mohon tunggu...
Rian Umbu
Rian Umbu Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Jalanan

Menulis Membuka Pikiran Baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan "Pahit" Siswa 90-an

5 Maret 2020   07:02 Diperbarui: 5 Maret 2020   08:48 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu, guru adalah musuh bagi yang "bodoh", bagi yang malas, terlambat dan yang lainnya. Tapi mereka "musuh" besar kami kala itu. Berjumpa guru sudak kami takut, apalagi merokok di sampingnya, itu namanya bunuh diri. Mustahil! Guru bagai penguasa, penentu nasib masa depan. 

Namun, seiring berputar waktu, di zaman modern ini, saya sangat prihatin melihat kejadian-kejadian yang sangat menyampingkan seorang guru. Bagaimana tidak? Dengan banyaknya regulasi yang diluncurkan pemerintah untuk melindungi anak, semakin marak pula tingkah laku siswa yang sedang mempertontonkan kebodohan. 

Seiring waktu berputar, ketajaman pikiran saya untuk melihat, saya prihatin melihat guru-guru zaman ini. Gaji kecil tapi dikekang regulasi dalam mendidik. Kebijakan baik tidak ditolak tetapi perlu keseimbangan. Peran guru ditelantarkan. Pendidikan dicoret, kepentingan diuntungkan, anak-anak tertawa ketika melanggar karena aturan panglima, belahan bambu dan kabel tak berdaya, tapi seribu sayang kita cetak generasi durhaka, tidak matang, instan dan masalah. Kekerasan kami lawan, tetapi didikan kami sanjung. 

Ironisnya, ketika seorang guru mencoba memarahi, menegur anak didiknya yang mungkin kelewatan sikapnya di  lembaga sekolah, orangtua pun melaporkan guru itu dan akan diproses secara hukum sesuai UU perlindungan Terhadap Anak. 

Bahkan, saya sangat gelisah ketika menyaksikan dan membaca beberapa berita online, tv swasta, lokal maupun negeri selalu menayangkan problema tersebut. Orangtua datang mengamuk atau menuntut sikap guru sampai memukulnya. (ambillah anakmu, didik sendiri, beri ijasah sendiri, buat kurikulum sendiri). 

Apakah didikan seorang guru yang ingin memanusiakan manusi harus dibatasi? Toh nyatanya, ketika anak didik jadi manusia yang arif dan berkapasitas tinggi tidak pernah memberi separuh gajinya untuk mantan gurunya.

Terus, mengapa didikan seorang guru yang seharusnya mempunyai intensi yang baik dibatasi selagi itu baik?  Bagi saya, selagi didikan itu mengarah ke hal yang baik, janganlah untuk mencoba mengahakimi seorang guru. 

Apakah ini yang dinamakan "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"?

Apakah ada juga regulasi yang melindungi hak dan kewajiban seorang guru dalam mendidik anak yang frontal atau bertampan preman? Dan atau memarahi, menghukum (memukul, cubit) siswa yang bertingkah aneh di depan guru atau dalam kelas? Di mana eksistensi seorang guru kalau semua hal yang bertujuan baik dibatasi? 

Hmmmppp....kalau saya bisa memutar waktu, ingin kukembali pada maza 90-an. Masa itu lebih terdidik dan berperikemanusiaan. Buktinya, hasil didikan guru saya saat itu, sekarang saya bisa menjadi seorang sarjana. Adakah yang senasib dengan saya? Dibandingkan saat ini, ketika banyak regulasi yang membatasi kewajiban seorang guru, semakin banyak pula anak didik yang terlantar dan membuat hal yang merusak lingkungan. 

"GURU PAHLAWAN TANPA TANDA JASA"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun