Mohon tunggu...
Rian Umbu
Rian Umbu Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Jalanan

Menulis Membuka Pikiran Baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan "Pahit" Siswa 90-an

5 Maret 2020   07:02 Diperbarui: 5 Maret 2020   08:48 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya... Saat itu pribahasa yang sangat familiar adalah ROTAN KASIH.

Saya jadi ingat akan pribahasa ini, segar dan familiar dalam ingatanku, "Rotan Kasih", karena memang kami selalu dikasih rotan, hhhh... Pribahasa itu menjadi amunisi yang handal untuk guru saya dalam melakukan didikannya. 

Pribahasa itu telah menjadi "peluru" kendali, amunisi handal bagi guru dalam didikannya. Terkadang, kami dipukul memakai belahan bambu,  kabel, paha kami dicubit, berlutut, sampai lutut kami membekas luka, berdiri satu kaki di depan kelas dan depan tiang bendera sambil memegang kedua telinga.

Terkadang, kami dipukul. Belahan bambu, dan kabel menjadi sesuatu yang menakutkan. Tidak hanya itu, paha kami dicubit, lutut kami membekas karena luka, kami berlutut! Berdiri satu kaki di depan kelas, kadang tiang bendera menjadi saksi cerita kami dulu, berdiri satu kaki sambil pegang telinga. Namun tidak ada satu pun orangtua siswa yang datang menghakimi atau pun menuntut guru kami.

Heran, didikan keras itu tidak menimbulkan guru dipanggil paksa atau diserang secara sepihak layaknya zaman now. Orangtua mendatangi guru penuh ngamukan, menghakimi yang bukan tugasnya, menuntut guru untuk maksud yang tidak begitu jelas. Mendidik keras menjadi ancaman bagi guru. Faktanya saat itu, ketika sepulang sekolah dan menyampaikan sikap guru saya kepada orangtua, bukan dibelah atau dikasihani, yang terjadi adalah orangtua malah memarahi kami dan memberi hukuman tambahan lagi. 

Kala itu, apa pun yang disampaikan kepada orangtua terkait proses didik mendidik di sekolah, semua dianggap baik. Sikap guru yang keras dibela orangtua. Mereka benar-benar dipercaya untuk pendidikan. Kami bisa kena ngamukan bahkan membangkitkan amarah orangtua, jika guru diceritakan terkait pendidikan di sekolah. Pukulan ronde ke dua bisa-bisa tak terhindarkan.

Bahkan, cara kami untuk menutupi badan dari belahan bambu, kami memasukan buku tepatnya di dalam celana untuk menepis sedikit ganasnya belahan bambu dan kabel yang hendak mengenah pantat kami.

Bengisnya guru dengan belahan bambu di tangan, melahirkan ide kami untuk menutupi badan, "kami memasukan buku di dalam celana untuk menepis sedikit, biar kurangnya rasa sakit". Belahan bambu dan kabel menakutkan masa itu, jiwa bisa terbang, tapi beruntung kami bermartabat hari ini.

Datang terlambat pun kami dihukum, dijemur diterik matahari, sebatang belahan bambu menjadi tuan rumah yang hendak menjemput kami yang datang terlambat. Itulah kenangan terindah kami anak 90-an. 

Kami terlambat datang, pasti dihukum. Kami dijemur dibawah terik matahari, sebatang belahan bambu menjadi sahabat sejati bagai tuan rumah yang setia menunggu. Jemputannya benar-benar terkenang sampai detik ini, membekas dan bermakna. Itulah tahun 90-an, kenangan kami.

Dengan demikian,  saya mau menyampaikan bahwa saat itu, guru adalah "musuh" terbesar kami. Maksud saya, ketika kami berjumpa seorang guru dimana saja, kami selalu menyembunyikan diri, apa lagi merokok didepan mereka, itu hal yang sangat mustahil. Ketakutan kami terhadap guru saat itu menjadi mimpi terburuk kami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun