Mohon tunggu...
Rhondy Hermawan
Rhondy Hermawan Mohon Tunggu... Polisi - Hanya sebuah tulisan.

Mencoba menulis apa yg perlu ditulis, bersuara apa yang perlu disuarakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Routine Activity Theory untuk Menganalisa Kejahatan

15 Desember 2019   22:15 Diperbarui: 15 Desember 2019   22:20 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

 

          Routine Activity Theory merupakan salah satu teori dalam paham Neo Klasik yang pertama kali dikembangkan oleh Lawrence Cohen dan Marcus Felson (1979) secara grafis routine activity theory dapat digambarkan dengan model bagan seperti diatas yang menetapkan tiga syarat yang diperlukan terjadinya suatu kejahatan (terhadap orang atau barang) yaitu : 1. adanya pelaku yang termotivasi (motivated offenders), 2. target yang cocok dan menarik dari korban kejahatan (suitable targets of criminal victimization), dan tidak adanya penjaga yang cakap dan mampu melindungi atas orang atau barang yang menjadi target (the absence of capable guardians of persons or property). Ketiga syarat diatas adalah syarat yang terikat dalam ruang dan waktu, yang artinya terjadi pada saat waktu dan  tempat yang sama. Kurangnya salah satu dari tiga syarat diatas dianggap mampu untuk mencegah kejahatan yang dalam konteks kejahatan yang melibatkan pelaku dan korban.

 

          Routine Activity Theory adalah sub-bidang teori peluang kejahatan yang berfokus pada situasi kejahatan yang menjelaskan tentang perubahan tingkat kejahatan di Amerika Serikat pada tahun 1947 - 1974. Teori ini cukup populer dalam lingkungan kriminologi dibandingan dengan teori kriminalitas lainnya karena Routine Activity Theory mempelajari tentang kejahatan sebagai suatu peristiwa yang berkaitan erat dengan kejahatan terhadap lingkungan dan menekankan proses ekologisnya, dalam arti luas dapat disimpulkan bahwa teori ini tidak hanya melihat kejahatan hanya dari sisi pelaku namun dilihat dari sisi korban dan lingkungan disekitarnya

 

          Inti pemikiran dari routine activity theory melihat bahwa suatu kejahatan relatif tidak terpengaruh oleh sebab-sebab sosial yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan pengangguran. Sebagai contoh, pasca Perang Dunia II negara-negara Barat mulai menata ekonominya dan dianggap sudah mulai mapan dan stabil serta tingkat kesejahteraan masyarakat mulai meningkat. Meskipun kondisi ekonomi mulai membaik tetapi ternyata tidak sejajar dengan kejahatan, faktanya kejahatan justru meningkat secara signifikan selama waktu ini. Menurut Felson dan Cohen, alasan peningkatan kejahatan tersebut adalah semakin tinggi kemakmuran masyarakat kontemporer membuat peluang lebih banyak terjadinya suatu kejahatan. Misalnya, dalam era tersebut penggunaan mobil yang diharapkan dapat membantu seseorang untuk memudahkan dalam pergerakan dan mobilitas tetapi hal ini mengakibatkan juga seorang (calon) pelaku dapat bergerak lebih bebas dan memotivasi mereka untuk melakukan pencurian terhadap kendaraan. Contoh lain dalam sisi perubahan sosial yaitu terhadap partisipasi dalam pekerjaan, urbanisasi, suburbanisasi dan gaya hidup semuanya berkontribusi terhadap penciptaan peluang terjadinya suatu kejahatan.

          Routine Activity Theory memiliki dasar dalam ekologi manusia dan teori pilihan rasional. Seiring berjalannya waktu teori ini lebih banyak untuk mempelajari kejahatan seksual, perampokan, kejahatan dunia maya, pencurian yang terjadi di perumahan dan viktimisasi. Dalam konteks studi viktimisasi kriminal, teori aktivitas rutin sering dianggap memilki dasar yang hampir sama dengan teori gaya hidup kriminologi yang dikemukakan oleh Hinderlang, Gottfredson, dan Garofalo (1978). Teori ini juga digunakan sebagai kerangka kerja yang dikombinasikan dengan teori disorganisasi sosial dalam memahami suatu kejahatan yang terjadi lingkungan masyarakat.

Secara teoritis sebuah kejahatan mungkin terjadi ketika tiga elemen penting dari kejahatan bertemu dalam ruang dan waktu yang sama: pelaku yang termotivasi, target yang menarik, dan tidak adanya penjaga formal maupun informal yang mampu dan mumpuni. Yang dimaksud pelaku termotivasi adalah individu yang tidak hanya mampu melakukan kegiatan kriminal, tetapi bersedia melakukannya. Target yang cocok dapat berupa orang atau objek yang dilihat oleh pelaku sebagai rentan atau sangat menarik. 

Penjaga dapat berupa seseorang atau objek baik formal maupun informal yang efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan.  Sebuah kejahatan kadang-kadang dapat dihentikan dengan kehadiran pemjaga yang mampu dan mumpuni dalam sebuah ruang dan waktu yang sama. Faktor-faktor yang membuat suatu target menjadi menarik adalah faktor spesifik situasional yang pada saat itu terdapat pada dilingkungan sekitar kejahatan.

          Routine Activity Theory mengasumsikan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki peluang. Teori ini juga menyatakan bahwa korban memilki sebuah pilihan apakah akan menjadi korban atau tidak dengan tidak menempatkan diri mereka dalam situasi dimana kejahatan dapat dilakukan terhadap mereka.

          Menurut Criminologist Lynch (1987), menyantakan bahwa risiko viktimisasi dalam lingkungan kerja memilki dampak yang lebih kuat daripada dalam kehidupan sosiodemografi. Untuk mengurangi risiko viktimisasi kriminal di tempat kerja diperlukan sebuah atribut pekerjaan tertentu dalam hal ini aparat pengaman (penjaga). Korban pekerja di tempat kerja akan menurun jika mobilitas, aksesibilitas publik, dan penanganan uang sebagai bagian dari peran pekerjaan dikurangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun