Mohon tunggu...
RH Notes
RH Notes Mohon Tunggu... -

Pegawai, Praktisi, Pengajar Bidang Manajemen SDM dan Kepemimpinan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Keberhasilan Pengajar?

3 Januari 2018   08:50 Diperbarui: 3 Januari 2018   09:16 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://windowsnesia.com/

Dalam sebuah pertemuan di sebuah Forum Instruktur, kami sesama pengajar sering bertukar pikiran tentang pengalaman mengajar masing-masing. Setiap pengajar memiliki pengalaman yang menarik di kelasnya masing-masing, mulai dari pengalaman mengatasi murid yang sulit, materi ajar yang usang, sampai dengan tingkat kelulusan peserta diklat yang rendah.

Seorang teman pengajar bercerita bahwa ia mendapatkan rating penilaian yang sangat baik dari peserta diklat. Selama mengajar murid-muridnya tidak mengantuk karena ia mempunyai banyak joke-joke yang mengocok perut para peserta diklat. Jika peserta sudah mulai bosan, beberapa ice breaking dilakukan sehingga fokus peserta bangkit kembali. Tak heran ia mendapatkan gelar pengajar favorit. Saat kembalinya peserta ke tempat kerjanya masing-masing, atasan mereka menanyakan kepada meraka, apa yang sudah dipelajari dan bagaimana mereka menerapkan di tempat kerja. Sedikit sekali dari peserta itu yang bisa menjelaskan dengan lugas kepada atasannya tentang apa yang telah meraka pelajari. Kasus seperti ini saya kategorikan sebagai Tipe 1.

Kemudian ada lagi seorang teman pengajar bercerita bahwasannya murid-muridnya kurang serius dalam belajar. Sehingga strategi yang ia lakukan adalah membuat soal-soal yang sulit dijawab. Peserta yang belajar sungguh-sungguhlah yang dapat lulus pada mata pelajarannya. Tingkat kelulusan peserta di kelasnya sekitar 60-70%. Ia percaya bahwa pengajar yang baik adalah yang meluluskan peserta yang benar-benar layak lulus. Kasus seperti ini saya kategorikan sebagai Tipe 2.

Teman pengajar yang lain juga ada yang menceritakan tentang keluhannya bahwa materi diklat yang disiapkan lembaga sudah usang, sehingga ia terpaksa harus menyiapkan materi tambahan untuk menjelaskan kepada peserta. Terkadang juga ia tidak sempat menyiapkan materi tambahan karena jadwal mengajar yang mepet, sehingga peserta hanya ia sampaikan materi yang sudah standar disiapkan dari lembaga sesuai dengan kurikulum dan silabus yang ada. Tingkat kelulusan peserta di kelasnya rata-rata 100%. Saat kita melihat catatan feedback dari peserta,  banyak komentar materi kurang update dan tidak sesuai dengan kondisi di tempat kerja. Akibatnya ilmu yang diperoleh di kelas tidak dapat diterapkan. Kasus seperti ini saya kategorikan sebagai Tipe 3.

Kemudian saya mendapatkan suatu cerita dari teman pengajar lain yang cukup bagus, yaitu ia mengajarkan kepada peserta bagaimana melakukan pemeliharaan instalasi, ia mengajarkan tidak hanyak teori tetapi juga praktek lapangan. Ia mengajarkan peserta bagaimana memelihara instalasi yang baik dan benar sehingga dapat menghindari risiko kecelakaan kerja. Ia mengajarkan kepada peserta pentingnya untuk bekerja menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dan mematuhi Standar Operating Procedure (SOP). Ia tidak mau meluluskan peserta jika nilai ujian praktek tidak 100, mengapa? Karena jika tidak 100, maka itu dapat berpontensi peserta mengalami kecelakaan kerja saat praktek sesungguhnya di tempat kerja. Jika peserta tidak mampu mencapai nilai 100, ia terus mendidik peserta dengan ketat dan khusus sampai peserta benar-benar bisa. Boleh dikatakaan peserta lulusannya adalah orang-orang yang siap kerja (ready to work). Namun sayangnya saat peserta kembali ke tempat kerja, manajemen unitnya terkadang tidak menyiapkan APD dan SOP dengan benar, sehingga kecelakaan kerja masih saja terjadi. Kasus seperti ini saya kategorikan sebagai Tipe 4.

Dari 4 (empat) cerita keberhasilan semua pengajar di atas, ada 1 (satu) hal yang sulit mereka jawab saat berhadapan dengan manajemen tempat peserta bekerja. Manajemen sering menanyakan apa manfaatnya buat perusahaan dari aspek finansial karena sudah mengirim pegawainya ke lembaga pelatihan? Manajemen merasa sudah mengirim pegawainya dan menghabiskan uang sekitar 10 s.d. 20 juta per orang per tahun. Lalu apa pengajar mampu membuktikan bahwa setiap orang yang mereka didik mampu menghasilkan uang untuk perusahaan melebihi 10 s.d. 20 juta per orang per tahun? Kasus seperti ini saya kategorikan sebagai Tipe 5.

Dari semua kisah sukses pengajar di atas, saya mengatakan bahwa semua pengajar berhasil menjadi pengajar yang baik dan benar karena mereka telah men-deliver materi sesuai dengan kurikulum dan silabus yang telah ada. Namun tingkat keberhasilan mereka saya bagi menjadi 5 tingkatan. Tingkat 1 paling rendah dan tingkat 5 paling tinggi.

  • Tingkat 1. Input. Keberhasilan tingkat ini adalah bagaimana peserta mau terlibat aktif dari kegiatan pengajaran. Peserta mau bertanya dan berbagi pengetahuan di kelas. Contohnya adalah Kasus Tipe 1, dimana pengajar mampu membangun suasana kelas yang kondusif untuk belajar (meskipun ada sedikit catatan bahwa seharusnya pengajar mampu memastikan bahwa peserta mampu menyerap apa yang diajarkan).
  • Tingkat 2. Proses. Keberhasilan tingkat ini adalah bagaimana pemahaman peserta meningkat dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang sedikit tahu menjadi lebih banyak tahu. Contohnya adalah Kasus Tipe 2, dimana pengajar mampu mendorong peserta untuk lebih giat belajar (meskipun ada sedikit catatan bahwa seharusnya pengajar mampu mengulang-ulang pelajarannya sampai seluruh peserta paham dan dapat lulus semua).
  • Tingkat 3. Output. Keberhasilan tingkat ini adalah bagaimana peserta bisa lulus semua. Keberhasilan dan kebahagiaan pengajar adalah ketika semua murid-muridnya paham dan lulus apa yang diajarkan. Contohnya adalah Kasus Tipe 3, dimana pengajar mampu membuat 100% pesertanya lulus (meskipun ada sedikit catatan bahwa seharusnya pengajar mampu memastikan apa yang diajarkan relevan/sesuai kebutuhan peserta).
  • Tingkat 4. Outcome. Keberhasilan tingkat ini adalah bagaimana peserta bisa bisa mengamalkan di tempat kerja apa yang mereka pelajari di kelas. Contohnya adalah Kasus Tipe 4, dimana pengajar mampu membuat dapat bekerja dengan baik dan benar (meskipun ada sedikit catatan bahwa seharusnya pengajar mampu mendorong kepada atasan/manajemen tempat peserta bekerja dapat mendukung kebutuhan peserta dalam mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Hubungan antara peserta dan pengajar tetap berlangsung, tidak sebatas di kelas saja).
  • Tingkat 5. Impact. Keberhasilan tingkat ini adalah bagaimana investasi yang dikeluarkan oleh pengirim peserta diklat dapat kembali atau melebihi dari yang diharapkan. Seperti halnya kita menyekolahkan anak-anak kita, ingin bahwa anak-anak kita dapat pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya, sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik dari orang tuanya. Sehingga keberhasilan pembelajaran harus senantiasa dipantau oleh yang berkepentingan, siapakah dia? Tentunya adalah orang/perusahaan yang berinvestasi pada kegiatan pembelajaran tersebut. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan atau menjadi tanggung jawab pengajar. Pada contoh Kasus Tipe 5, pengajar harus memiliki keyakinan bahwa kinerja peserta akan meningkat seiring dengan peningkatan pengetahuan dan motivasi peserta. Apabila kinerja peserta meningkat, akan selaras dengan peningkatan produktivitas yang berdampak pada peningkatan kinerja (pendapatan perusahaan). Idealnya komunikasi dan hubungan antara pengajar dan peserta maupun perusahaan tetap terjalin untuk memastikan kegiatan pengajaran yang berkualitas.

Semoga sharing ini dapat bermanfaat bagi penggiat pembelajaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun