Mohon tunggu...
Rezy Refro
Rezy Refro Mohon Tunggu... Relawan - Laki-laki

suka menulis dan membaca. // instagram : @refrorezy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Politik Syuro dan Akhlak Hikmat dari Buya Hamka untuk Kegilaan Netizen

16 Februari 2019   16:47 Diperbarui: 16 Februari 2019   17:03 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kemunduran negara tidak akan terjadi kalau tidak ada kemunduran budi dan kekusutan jiwa" -- Buya Hamka

Tahun 2019 menjadi tahun politik bagi negara Indonesia. Beberapa bulan lagi masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke akan merayakan pesta demokrasi, sebuah pemilihan umum untuk presiden. Dua calon presiden yang bertarung dalam pemilihan tersebut adalah Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.

Kedua calon presiden (Jokowi dan Prabowo) telah memiliki pendukung yang sama banyak. Dari pendukung kalangan masyarakat kelas bawah, atas, organisasi masyarakat, bahkan organisasi keagamaan. Mereka semua saling mendukung pasangan calon presiden dengan cara mengkampanyekan di media sosial.

Sejatinya, dengan banyaknya para pendukung yang mengkampanyekan pasangan calon presiden di media sosial mereka, telah membuat demokrasi di negara Indonesia berjalan dengan baik. Tetapi sangat disayangkan sekali dengan beberapa pendukung atau netizen yang menodai demokrasi dengan cara yang buruk dalam mengkritik lawan politiknya.

Beberapa kegilaan-kegilaan netizen dalam melawan atau mendukung pilihan politik seperti menyebar hoax, mengujar kebencian, sampai menggunakan kata-kata yang tidak layak menunjukan bahwa kita belum mampu untuk menampilkan cara berpolitik yang bermoral.

Dulu, sebelum kegilaan netizen terjadi, negara Indonesia telah mempunyai sosok yang berpolitik dengan bijaksana. Sosok itu bernama Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. \

Buya Hamka adalah seorang tokoh agama, politikus, dan sastrawan. Berbagai penghargaan yang telah diterimanya dari dalam negeri maupun luar negeri seperti Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Penghargaan tersebut bukanlah sesuatu yang begitu saja didapatkannya, melainkan dari berbagai pemikiran -- pemikiran tentang politik, agama, dan akhlak yang bisa dipelajari dan diterapkan sampai saat ini. Khususnya untuk Netizen yang saat ini terlihat mengerikan.

Konsep Politik Syura

Syura adalah merupakan kunci pembangunan masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan keduniawian yaitu dengan cara bermusyawarah. Berbagai tokoh agama mempunyai tafsiran sendiri mengenaik konsep syura, termasuk Buya Hamka. 

Menurut Buya Hamka sendiri, konsep syura atau musyawarah bisa dibawa ke berbagai tingkat sosial bernegara, bermasyarakat, bahkan keluarga sekalipun. Dimana dalam mencari solusi atau jalan keluar dari berbagai persoalan yang terjadi saat ini dengan cara saling bermusyawarah. Dalam pandangannya, hendaklah syura yang terlaksana dilandaskan atas pertimbangan sesuatu yang mendatangkan kebaikan (mashlahat) dan kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok) karena perbuatan atau tindakan pelanggaran hokum.

Jika kita melihat konsep syura dalam konteks politik ialah sesuatu yang dimiliki oleh rakyat (hak) untuk ikut berpartisipasi dalam masalah-masalah hukum atau pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemerintahan. Karena zaman telah berubah, ruang untuk berpartisipasi dalam politik semakin luas dan mudah. Salah satunya media sosial. Istilah rakyat pun berubah menjadi netizen ketika sudah berada dalam media sosial.

Dalam negara yang memiliki ideologi demokrasi seperti Indonesia, seharusnya konsep syura memilii hubungan yang erat dan baik. Mayarakat bisa saling bertukar pikiran atau pendapat dengan bebas dan aman. Namun, tidak semua netizen bisa berpartisipasi (menggunakan konsep syura) dalam politik di media sosial dengan baik.

Yang terjadi sekarang ini adalah netizen di media sosial saling mencari "aib" dari lawan politik, dimana hal tersebut jauh dari substansi akan permasalahan. Saling mencaci individu, bukan mencari solusi. Munculnya cara baru dan jahat dalam bermusyawarah dalam ruang politik di media sosial dengan menyebarkan berita hoax. Penyebaran berita hoax yang dilakukan oleh politikus atau netizen adalah tanda bahwa kita belum bisa menjalankan demokrasi antar warga negara dengan bermoral.

Sebuah musyawarah atau diskusi yang tidak berlandas pada akal dan ajaran-ajaran rohani dan kemanusiaan, melainkan hanya sebuah kecurangan-kecurangan yang merusak budi pekerti.

Konsep Akhlak Hikmat

Hikmat, Buya Hamka mengartikannya dengan bijaksana. Agar manusia dapat mengendalikan syahwat dan kemarahannya, jangan sampai melantur. Konsep hikmat yang dikemukaan oleh Buya Hamka itu bisa kita ajarkan kepada netizen. Hikmat menjadi salah satu bagian yang diajarkan dan diterapkan oleh Buya Hamka dalam berbagai literatur mengenai konsep pendidikan budi pekerti atau keteladanan yang berlandas pada agama dan akal dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan rohani.

Begitu mudah netizen tersalut emosi hanya karena berbeda pandangan politik. Padahal disetiap negara yang memiliki ideologi demokrasi, perbedaan pandangan atau pendapat adalah hal yang wajar terjadi. Ironisnya, tidak semua netizen kita bisa bersikap bijaksana.

Padahal jika kita lihat dari cerita sejarah, Buya Hamka pernah berbeda pandangan politik dengan presiden pertama Soekarno. Perbedaan pandangan politik tersebut juga membuat ia terjerat masuk penjara. Lantas apakah Buya Hamka membenci Soekarno? Sama sekali tidak.. Justru sebaliknya, Hamka lah yang mengimami salat jenazah Bung Karno ketika wafat.

Dari kisah tersebut, Buya Hamka berhasil memunculkan keseimbangan jiwa. Sebuah pengendalian emosi dan akhlah yang begitu disiplin, sisi kemanusian yang melebihi ruang politik, dan kebijaksanaan sebagai warga negara.

Berbeda dengan para netizen gila yang menutup telinga terhadap pandangan yang berbeda tetapi memaksakan pandangannya sendiri. Hal ini yang memunculkan istilah "netizen maha benar" dan ditambah dengan sikap intoleran akan perbedaan pilihan politik. Kekusutan jiwa yang ada dalam diri netizen yang gila telah menghasilkan sebuah kebencian dalam dirinya terhadap perbedaan politik. Hal ini juga yang mengakibatkan adanya hate speech di media sosial. Ujaran kebencian atau hate speech yang dilakukan netizen di media sosial telah merusak dan membuat kemunduran cara kita berdemokrasi.

Kekusutan jiwa ini yang sebenarnya akar dari permasalah yang terjadi dalam tahun politik ini, Dimana hal ini yang menyebabkan pertengkaran atau perpecahan kerukunan antar warga negara.

 Jika Buya Hamka ingin mewujudkan keseimbangan jiwa, netizen justru terlihat mengkusutkan jiwanya.  Memang sudah seharusnya netizen mulai belajar dari pemikiran-pemikiran Buya Hamka.

Bila netizen dalam melakukan aktivitas politik besar-besaran atau dalam lingkup kecil sebatas mengomentari calon presiden di media sosial dengan menggunakan konsep politik syura dan akhlak hikmat dari pemikiran Buya Hamka, sepertinya demokrasi dalam negeri ini akan semakin maju. Buya Hamka menginginkan kerukunan yang terjadi dalam bernegara di ruang lingkup politik justru mampu menambah tingkat intelektual atau nalar kritis terutama para pemuda Indonesia.

Jika kita lihat pertengkaran politik yang tidak sehat akhir-akhir ini, sepertinya penggabungan konsep syura dan hikmat yang ditafsirkan oleh Buya Hamka begitu tepat untuk dipelajari oleh netizen saat ini. Kita akan melihat bagaimana netizen bermusyawarah atau berdebat dengan akal sehat dan adab kemanusiaan, bukan justru membenci lawan politik kemudian menggunakan segala cara yang tidak berperi kemanusiaan.

Bila penggabungan konsep politik syura dan akhlak hikmat dipakai oleh netizen di media sosial saat ini, maka juga bisa memberikan dampak positif bagi generasi berikutnya. Karena generasi yang akan datang sudah terlahir dengan teknologi informasi yang begitu hebat, rekam jejak digital akan ada disana. 

Jika yang terlihat adalah rekam kegilaan-kegilaan netizen seperti ujaran kebencian, kata-kata yang tidak baik, hoax, fitnah, dan segala bentuk keburukan lainnya, maka hal tersebut akan mempengaruhi generasi penerus bangsa dengan buruk.

Tetapi bila generasi penerus bangsa melhat dalam rekam jejak digital para netizen bermusyawarah atau berdebat dengan cara yang baik (syura), sopan, dan tidak membawa amarah atau kebencian lainnya (hikmat), maka tidak menutup kemungkinan generasi atau netizen yang akan datang mengetahui bahwa negara ini pernah melakukan demokrasi dengan baik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sosok Buya Hamka adalah seseorang yang memiliki tingkat intelektual tinggi dan revolusioner dengan diimbangi oleh akhlak atau budi pekerti yang baik. Kedua konsep pemikiran mengenai syura dan hikmat masih bisa dipelajari dan berguna sampai saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun