Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu menjadi motor penggerak peradaban manusia. Sejak ditemukannya api, roda, mesin cetak, hingga internet, umat manusia terus berupaya menemukan cara baru untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam konteks era digital, salah satu inovasi yang paling revolusioner adalah munculnya uang elektronik (electronic money atau e-money). Jika dahulu uang hanya hadir dalam bentuk fisik—koin dan kertas—kini ia tampil dalam bentuk digital yang dapat berpindah hanya melalui sentuhan layar ponsel.
Inovasi e-money tidak hanya memengaruhi aspek teknis transaksi, tetapi juga membawa perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan filosofis. E-money membentuk paradigma baru dalam cara masyarakat memahami nilai, uang, dan interaksi ekonomi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana perkembangan teknologi berkelindan dengan filsafat ilmu, yang selalu mempertanyakan hakikat, metodologi, dan tujuan pengetahuan.
Filsafat ilmu relevan untuk menganalisis e-money karena ia bukan semata produk teknologi finansial, melainkan manifestasi dari perubahan paradigma ilmu pengetahuan. Perspektif filsafat ilmu memungkinkan kita memahami bagaimana e-money lahir, diuji, diterima, diperdebatkan, dan memberi dampak luas pada masyarakat. Sejalan dengan pandangan Munir (2020), filsafat ilmu baik dalam tradisi Barat maupun Islam selalu menekankan keterkaitan antara ilmu, etika, dan kemaslahatan sosial. Artinya, inovasi seperti e-money tidak boleh hanya dilihat dari aspek teknis, tetapi juga nilai moral yang menyertainya.
Bahm (1993) menambahkan bahwa ilmu senantiasa berkembang secara dinamis, terbuka terhadap revisi, dan selalu beradaptasi dengan tantangan zaman. Dengan kerangka ini, e-money dapat dipahami sebagai ekspresi nyata dari dinamika ilmu yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat modern. Oleh karena itu, esai ini akan membahas e-money dengan perspektif filsafat ilmu, mulai dari sejarah perkembangannya, paradigma pengetahuan yang mendasarinya, dampak sosial-budaya, hingga refleksi kritis terhadap masa depannya.
Sejarah Perkembangan Uang Menuju Era Digital
Sejarah uang mencerminkan evolusi paradigma ilmu dan kebutuhan manusia. Awalnya, manusia menggunakan sistem barter, yang meski sederhana, memiliki kelemahan mendasar: sulit menentukan nilai yang adil dan keterbatasan kecocokan kebutuhan. Dari sini lahir uang komoditas, seperti garam atau kulit, hingga koin logam yang diperkenalkan bangsa Lydia pada abad ke-7 SM. Menurut Simmel (1978), uang logam menjadi medium sosial yang merepresentasikan nilai kerja, kekuasaan, dan kepercayaan.
Perubahan berikutnya terjadi ketika Tiongkok memperkenalkan uang kertas pada abad ke-7 M. Bahm (1993) melihat hal ini sebagai bentuk abstraksi baru: nilai uang tidak lagi melekat pada benda fisik, tetapi pada kesepakatan sosial. Evolusi berlanjut ke uang fiat, di mana nilai uang ditentukan oleh legitimasi politik, bukan logam mulia. Bank kemudian memegang peranan penting dengan menghadirkan uang giral, cek, dan giro.
Abad ke-20 memperkenalkan uang plastik berupa kartu kredit dan debit. Selanjutnya, abad ke-21 menghadirkan e-money, baik berbasis chip (seperti Flazz BCA atau e-toll) maupun server (seperti OVO, GoPay, Dana, dan ShopeePay). Menurut Bank Indonesia (2023), transaksi e-money mencapai lebih dari Rp 400 triliun per tahun dengan pertumbuhan 20–30%.
Lebih jauh lagi, muncul cryptocurrency seperti Bitcoin yang bersifat terdesentralisasi, menantang dominasi negara dalam mencetak uang. Sebagai respon, banyak negara mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC). Sejarah ini menunjukkan bahwa uang selalu berevolusi mengikuti paradigma pengetahuan dan kebutuhan sosial.
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan E-Money
E-money dapat dibaca melalui berbagai paradigma filsafat ilmu. Pertama, paradigma positivistik menekankan objektivitas dan verifikasi. E-money lahir dari penelitian empiris di bidang teknologi informasi, enkripsi, dan ekonomi digital. Namun, positivisme dikritik karena cenderung mengabaikan dimensi nilai; padahal legitimasi e-money juga ditentukan oleh kepercayaan masyarakat (Habermas, 1984).