Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Southgate (Masih) Tak Akrab dengan Adu Penalti

12 Juli 2021   14:58 Diperbarui: 12 Juli 2021   15:36 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika tahun 1996 publik Inggris pertama kali disuguhi gelombang pertama dari angan-angan football is coming home. Bagaimana tidak, Euro diadakan di tanah Inggris sendiri dan pasukan Terry Venables tinggal selangkah lagi menginjak rumput Wembley sebagai finalis. Tinggal Jerman saja halangan mereka untuk menantang Cekoslowakia yang sudah mengamankan tiket final beberapa jam sebelumnya di Old Trafford. Sayangnya laga berakhir agoni bagi pendukung laskar tiga singa.

Meski sudah unggul lebih dulu lewat gol cepat Shearer, gol balasan Kuntz membuat laga berakhir imbang sampai 120 menit berakhir. Selama itu pula Venables sama sekali tak mengganti pemainnya seperti sudah sangat yakin inilah 11 terbaiknya. Masuk Adu penalti kelima penendang Inggris dan Jerman sama-sama sukses meloloskan bolanya, tapi eksekutor keenam Inggris gagal menaklukkan Koepke dan di sisi lain kapten Andreas Moeller sukses kelabui Seaman. Penendang itu bernama Gareth Southgate.

Tendangan Southgate dibaca Koepke. (Daily Mail/Ted Blackbrow)
Tendangan Southgate dibaca Koepke. (Daily Mail/Ted Blackbrow)
Southgate seketika menjadi public enemy para hooligans garis keras Inggris. Meski sebenarnya keputusan Venables juga patut andil dalam kegagalan Inggris waktu itu. Memilih Southgate yang seorang bek sentral sungguh buka pilihan yang baik ketika masih ada nama Darren Anderton dan McManaman yang masih belum dapat giliran. Bahkan masih ada nama Tony Adams yang sebagai kapten tentu lebih punya responsibilitas dan mentalitas. Keputusannya tak mengganti pemain juga patut dipertanyakan karena masih ada nama Robie Fowler yang menganggur di bench.

Jauh hari setelahnya Southgate didapuk sebagai kepala pelatih Timnas senior Inggris menggantikan  Sam Allardyce setelah Big Sam terkena skandal di 2016. Namun ternyata nama Southgate lebih harum di role manajerial daripada ketika reguler bermain. Southgate bahkan mampu membuat warga Inggris kembali menyerukan slogan football is coming home selama Piala Dunia 2018. Inggris asuhannya menembus babak semifinal setela sekian lama medioker di tiap turnamen meski akhirnya langkah mereka dihentikan Kroasia.

Teriakan football is coming home terus membahana diteriakkan segenap warga Inggris hingga Euro 2020. Meski diadakan di 11 host berbeda, Inggris memainkan hampir semua laganya di Wembley. Sangat cocok sebagai pengingat momentum Euro 1996 di Inggris juga. Tanpa selalu bermain atraktif, nyatanya Southgate melampaui capaian pribadinya di 1996. Tak ada kata lain selain football is coming home di segenap kepala masyarakat Inggris.

Nahas di laga dini hari tadi (12/07) justru publik Inggris harus menerima kenyataan pahit lagi setelah Itali lah yang membawa pulang trofi Henri Delaunay. Gol cepat Shaw nyatanya tak mampu menyegel keunggulan Inggris dan akhirnya gol kemelut Bonucci memaksa laga menuju babak tambahan. Disinilah Southgate sepertinya tak mau mengulangi kesalahan Venables dulu, dia memasukkan Sancho dan Rashford tepat di akhir babak demi menambah amunisi penendangnya.

Tapi kali ini sepertinya Southgate seolah meminggirkan pengaruh mental di laga sekrusial final Euro. Italia zaman Conte 2016 sebenarnya pernah mencoba langkah yang sama dengan memasukkan Simone Zaza di menit 120 laga lawan Jerman. Hasilnya tendangan Zaza malah sama sekali tak mememui sasaran dan akhirnya Jerman lah yang lolos ke semifinal. Sepertinya para pemain dadakan ini tak sepenuhnya secara mental menyatu dengan atmosfer ketat laga final. Alhasil Sancho dan Rashford gagal memenuhi ekspektasi Southgate, baju kering tapi mata basah bersimbah air mata.

Keputusan menunjuk Bukayo Saka sebagai penendang kelima juga menundang decak tanya orang-orang. Pemain sekelas Kylian Mbappe yang sudah pernah juara dunia saja tak mampu memanggul beban penendang kelima, apalagi Saka yang baru berumur 19 tahun. Donnaruma dengan nyaman menggagalkan eksekusi Saka sekaligus menegaskan sepak bola masih tak mau pulang. Southgate mengakui keputusannya menunjuk Saka adalah tanggung jawabnya.

Ketika 1996 dulu Southgate sampai harus mengasingkan diri ke Bali demi menghindari cemoohan massa. Kali ini sepertinya Southgate tak bisa mengulangi hal yang sama. Kondisi pandemi jelas menyulitkan wisatawan masuk Bali sekaligus sudah meluasnya media sosial. Pada 1996 Southgate mengaku hanya dikenali satu orang selama di Bali, hal yang tak mungkin ia temukan lagi hari ini. Mungkin dia kan diteriaki atau berkali-kali diajak foto ketika hanya sekadar berjalan-jalan di Seminyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun