Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tiga Penyebab Indonesia Alami Kekalahan di Final Leg Pertama

29 Desember 2021   23:58 Diperbarui: 30 Desember 2021   19:01 3481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chanathip Songkrasin  berduel dengan Alfeandra Dewangga Santosa . (Foto: AFP/Roslan Rahman via Kompas.com)

"Kali ini Shin Tae-yong tidak sedang di ombang-ambing dari surga ke neraka. Namun nampaknya malam ini STY benar-benar sedang berada ditepian jurang neraka. Melihat timnya alami kekalahan yang cukup telak 4-0 di leg pertama."

Dengan sekejap suporter garuda kehilangan suaranya. Hilang, lenyap bersama kekalahan tim kesayangnya. Hanya rasa kecewa yang mungkin kini sedang dialami oleh para suporter garuda.

Pasalnya tertinggal 4-0 bukanlah perkara mudah bagi timnas Indonesia untuk membalikan keadaan. Thailand bukanlah Singapura apalagi Malaysia. Mereka tampil begitu mulus, brilian seolah tim yang tanpa cela.

Meski bola itu bundar, Berat dan hampir mustahil bagi Indonesia untuk bisa mengejar ketertinggalan tersebut di leg kedua. Lagi-lagi Indonesia butuh keajaiban atau bahkan "tangan Tuhan" untuk dapat keluar dari jurang neraka tersebut.

Mereka yang belakangan mengelu-elukan, bereuforia, memuji, mengagung-agungkan timnas kesayangannya kini tiba-tiba melempem, bahkan berbalik menghujat tatkala tim kesayanganya itu alami kekalahan.

Seolah-olah Indonesia sudah kehilangan kekuatannya. Bahkan pertandingan kali ini mutlak milik timnas Thailand yang bermain dengan rapi, solid, efisien dalam menyerang sehingga lini pertahanan Indonesia berkali-kali digempur habis-habisan hingga kewalahan.

Mungkin nasib baik sedang tidak berpihak pada STY dan anak asuhnya. Mereka justru malah mengalami malapetaka dan seolah hilang daya setelah shock terapy yang diberikan Thailand di awal-awal pertandingan.

Kejadian yang tidak menyenangkan ini tentu bukan perkara mudah untuk diantisipasi oleh STY. Bahkan mungkin ini diluar dugaan bagi STY.

Termasuk bagi para penonton Indonesia sendiri. Ini benar-benar diluar dugaan. Kali ini Alexandre Polking berhasil mematahkan strategi STY. Gaya bermain blitzkrieg anak asuhnya itu ternyata mampu meluluhlantakan timnas Indonesia dengan skor yang sangat menyakitkan.

Tapi bagaimana pun semua sudah terjadi. Skuad garuda pun sudah bekerja keras mengeluarkan segenap kemampuannya. Kita akui kita kalah. Kita tampil dengan performa yang tidak maksimal. Mungkin itu bisa disebabkan beberapa faktor mulai dari fisik atau pun juga mental para pemain.

Namun apabila dilihat dari keseluruhan permainan, setidaknya ada tiga penyebab terbesar mengapa Indonesia alami kekalahan yang sangat telak. Diantaranya sebagai berikut:

1) Absennya Pratama Arhan

Absennya Pratama Arhan di leg pertama jelas merupakan kerugian terbesar bagi timnas Indonesia. Edo Febriansyah ternyata belum mampu menggantikan posisi yang ditinggal oleh Pratama Arhan.

Kita bisa melihat, bahkan sejak satu menit peluit babak pertama dibunyikan, lini pertahanan sebelah kiri Indonesia terlihat kerepotan dengan serangan kilat yang dilancarkan Philip Roller.

Irianto bahkan harus turun membantu Edo untuk bertahan. Namun duel maut nan cantik antara Roller dan Songkrasin ternyata sulit diredam sehingga langsung berbuah goal dimenit pertama sejak awal permainan.

Absennya Arhan benar-benar membuat lini pertahanan timnas Indonesia lemah. Bukan hanya lini pertahanan, bagaimana cara membangun serangan pun menjadi tidak terlalu kreatif tanpa peran dari Arhan.

Arhan memang termasuk pemain yang menjadi andalan STY. Karena bukan saja punya kemampuan defense nya yang bagus, tapi Arhan juga punya insting menyerang. Terbukti sudah ada beberapa asis dan goal yang Arhan ciptakan di gelaran Piala AFF ini.

Karena STY tahu sisi kiri pertahanan anak asuhnya terus di eksploitasi, maka dia menarik Edo lalu Dewangga di plot di sisi kiri. Sementara Elkan masuk sebagai center back untuk menggantikan posisi Fachrudin yang juga ditarik keluar.

Namun sayang, usaha itu malah semakin meninggalkan celah ditengah. Karena Irianto ditarik keluar dan digantikan oleh Evan Dimas yang notabene bukan seorang tipikal gelandang bertahan dan tidak punya kemampuan defense sepertihalnya Irianto.

2) Bermain Terlalu Terbuka

Maksud Indonesia mungkin ingin mengejar ketertinggalan di babak kedua. Terlihat dari bagaimana pemain yang dimasukan oleh STY dibabak kedua.

Dengan memasukan Egy, Kadek, dan juga Evan Dimas sangat jelas bahwa STY mencoba merubah pola permainan dari yang sedikit bertahan dan tertutup menjadi lebih menyerang secara terbuka.

Namun sayangnya STY keliru, level Thailand sangat jauh dari timnas Indonesia soal bagaimana mereka bertahan dan melakukan counter attack.

Ketika bertahan mereka sangat solid dan disiplin, namun ketika mereka melakukan counter attack, dengan sekejap bisa merepotkan lini pertahanan Indonesia bahkan ada beberapa peluang yang hampir bisa dikonversi menjadi sebuah goal.

Permainan yang terlalu terbuka yang dilakukan oleh para pemain timnas Indonesia justru seakan menjadi sentaja makan tuan dan malah merugikan diri sendiri.

Sekelas Vietnam saja yang bermain terbuka dan high pressing ketika berhadapan dengan Thailand meski mereka dominan menyerang dan Thailand bertahan, serangan-serangan balik Thailand masih bisa selalu cepat dan sangat mematikan bagi Vietnam. Counter attack yang mereka lakukan sangat efisien dan selalu bisa mengancam lini pertahanan lawan.

Apalagi ketika menghadapi timnas Indonesia, sudah jelas itu menjadi santapan empuk bagi mereka dalam menciptakan goal ketika diajak bermain secara terbuka.

Jelas bagaimana merubah pola permainan timnas Indonesia yang awalnya tertutup dan sedikit bertahan menjadi terbuka menjadi awal perjalanan STY digiring ketepian jurang neraka oleh anak asuhnya sendiri.

STY kurang cermat menilai bahwa Thailand memiliki algojo-algojo sadis seperti Songkrasin dan Supacok yang kapan saja bisa mengoyak gawang timnya ketika memiliki sebuah peluang.

Harusnya Indonesia bisa sedikit bermain sabar dan tidak terlalu terbuka dibabak kedua. Atau setidaknya Indonesia hanya kalah 1-0 saja itu sudah lebih baik, daripada memaksa bermain terbuka dengan tim sekelas Thailand.

3) Panik dan Sering Salah Pasing

Sepertinya ini klasik, tapi begitulah kualitas para pemain kita ketika berlaga dilapangan. Soal kecepatan, fisik timnas Indonesia boleh diadu dengan timnas Thailand.

Tapi soal pasing akurasi dan juga bagaimana cara mereka mengolah bola (ball retention), lagi-lagi Indonesia masih sangat lemah dan jauh diatas Thailand.

Bukan untuk merendahkan, tapi ini memang aspek dan kekurangan yang harus diperbaiki oleh para pemain timnas Indonesia ketika ingin berlaga dipentas internasional.

Bahkan statistik mengatakan, pasing akurasi kita kalah dari Kamboja. Secara rata-rata pasing akurasi para pemain timnas Indonesia hanya diangka 75%. Sementara para pemain Thailand sudah berada diangka 85% keatas. Sangat jomplang sekali.

Para pemain Indonesia nampaknya harus lebih sering-sering bermain rondo (kucing-kucingan) lebih rajin, rutin dan keras lagi supaya tidak cepat kehilangan bola dan tidak panik ketika sedang ditekan oleh lawan.

Coba kita perhatikan bagaimana permainan Rondo para pemain Bayer Munich ketika sedang latihan dibawah ini.


Lihat bagaimana atraksi mereka mengolah sikulit bundar. Begitu lihai rapi dan tidak cepat hilang bola ketika sedang di pressing.

Lalu bandingkan dengan rondo para pemain Indonesia dibawah ini


Tidak bisa mengolah bola terlalu lama dan sering cepat hilang dalam hitungan detik. Meski rondo terbilang sebuah permainan, tapi ini kemampuan kolektif yang penting dan musti dikuasai oleh para pemain timnas Indonesia.

Karena sepakbola adalah permainan kesebelasan. Permainan kerjasama dilapangan. Bukan skill individu maupun perorangan. Jadi penting sekali kemampuan mengolah bola, passing akurasi dan ketenangan menjadi materi yang harus rajin dan rutin dilatih agar bisa lebih baik lagi.

Tentu ini sebuah evaluasi. Bukan sedang merendahkan apalagi meremehkan timnas Indonesia. Bagaimana pun kita patut bangga Indonesia telah lolos ke final dengan segala kerja keras dan determinasi yang sudah para pemain timnas kita lakukan.

Mungkin sekarang bukan waktunya dan bagaimanapun kita telah melihat talenta-talenta muda yang ada pada diri Asnawi, Witan, Egy, Dewangga maupun Arhan. Dengan usia muda dan minimnya jam terbang yang mereka miliki, lolos ke putaran final tentu sudah menjadi prestasi tersendiri.

Apapun hasil yang terjadi di leg kedua nanti dan bahkan sekalipun Indonesia hanya menjadi runner up, penulis sangat bangga dan mengapresiasi atas apa yang sudah diberikan oleh penggawa muda untuk Indonesia.

Salam Olahraga

Reynal Prasetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun