Mohon tunggu...
fahrur rozi
fahrur rozi Mohon Tunggu... -

mahasiswa tingkat akhir fakultas ilmu sosial dan politik universitas padjadjaran bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Opera[si] Polisi: Analisis Atas Kasus Terorisme & Penyerbuan Markas Polisi

23 September 2010   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*** Bak Sinetron kejadian-kejadian mengejutkan silih berganti dilakoni oleh polisi, mulai dari [me]manipulasi kasus, [m]enyergap teroris, sampai kejadian terbaru markasnya diserbu oleh ‘teroris.’ Hal ini cukup menarik untuk kita analisis. Menarik karena unik dan karena banyaknya keganjilan disana-sini. Jika mengacu pada teori Kriminalitas, maka disini hanya ada dua kemungkinan, Pertama, Kepolisian menjadi Subjek kasus, dalam artian polisi mengetahui bahkan terlibat didalamnya. Kedua, Kepolisian menjadi Objek kasus dalam artian polisi tidak mengetahui sebelumnya bahkan dalam situasi tertentu menjadi korban. Maraknya kriminalitas (termasuk korupsi dan aksi terorisme) tidak bisa dipungkiri merupakan bukti anjloknya kinerja dan mentalitas aparat hukum ini. Maka wajar jika kita berani menyimpulkan bahwa sedikit banyak polisi sepertinya terlibat didalamnya. Saya berpendapat baik dalam kasus mafia hukum maupun dalam kasus terorisme sangat kental keterlibatan polisi didalamnya. Memang kalau terkait dengan kasus-kasus mafia hukum (melakukan korupsi atau melindungi para koruptor) sudah tak terhitung bukti dan saksi yang menunjukkan hal tersebut, mulai dari terbongkarnya kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK (Bibit-Candra), kasus Gayus, Laporan Susno, dan lain lain. Akan tetapi berkaitan dengan keterlibatan polisi dalam aksi terorisme tidak banyak orang yang tahu. Disini saya tidak akan membahas panjang lebar terkait dengan Opera polisi dalam kasus-kasus mafia hukum karena di bidang ini sepertinya mata masyarakat sudah sangat terbuka lebar melihat semua fakta. Akan tetapi disini Saya tertarik untuk menganalisis terkait dengan keterlibatan polisi dalam kasus-kasus terorisme termasuk dalam kasus terbaru yakni penyerbuan markas Polsek Hamparan Perak di Sumatera Utara. Rekayasa dalam kasus-kasus terorisme ini nampaknya semakin hari semakin kental terasa. Misalnya banyaknya keganjilan-keganjilan dalam kasus penggerebekan tersangka perampokan Bank CIMB Niaga di Tanjung Balai, Sumatera Utara.  Kenapa Densus 88 harus sampai menembak mati secara brutal para (terduga) teroris tersebut? padahal orang-orang itu belum tentu juga bersalah. Prinsipnya kan kalau ada orang yang dianggap terlibat, harus dibuktikan secara yuridis. Bukan dengan tembak-tembakan ala perang. Terlebih ada sinyalemen bahwa polisi telah merekayasa Identitas korban yang dianggap teroris tersebut. Salah satu tersangka teroris Perampok Bank Niaga (versi polisi) yang mati ditembak Densus 88 adalah seorang pemuda bernama Yuki Wantoro. Faktanya waktu kejadian perampokan bank CIMB Niaga pada tanggal 18 Agustus lalu Yuki sedang berada di Solo. Lalu atas dasar apa polisi menuduh Tuki sebagai salah satu teroris pelaku perampokan dan atas dasar apa Yuki sertamerta ditembak mati pada saat penggerebekan beberapa hari yang lalu. Tidakkah ini menunjukkan adanya Rekayasa? Saya menduga Perubahan status kasus perampokan Bank CIMB Niaga dari yang awalnya kasus kriminalitas biasa menjadi bagian dari kasus terorisme, dikarenakan ketidakmampuan polisi membokar pelaku sebenarnya. Untuk melindungi muka polisi dari rasa malu maka dihubung-hubungkanlah kasus ini dengan kasus terorisme. Makanya pada awalnya Mabes Polri sama sekali tidak menyinggung dan tidak mengaitkan kasus perampokan ini dengan terorisme. Akan tetapi belakangan ini kasus tersebut dianggap bagian dari terorisme yang berujung diturunkannya -Datasemen Maut- Densus 88 dalam aksi penggerebekan teroris pelaku perampokan Bank CIMB Niaga. Seperti yang sama-sama telah kita ketahui, jika Densus 88 turun maka alamat yang terjadi adalah sapu bersih alias tembak di tempat. Sepertinya menurut polisi ini lebih aman, cepat, dan lebih mudah dipercaya oleh masyarakat. Dengan menurunkan Densus 88 (yang hobinya menembak orang yang belum tentu bersalah), maka polisi tidak usah capek-capek melakukan penyelidikan. Selain itu dengan mengaitkan aksi perampokan Bank Niaga dengan terorisme maka polisi merasa punya tema baru untuk mengalihkan perhatian publik, dan yang terpenting merasa punya amunisi baru untuk mengintimidasi dan menangkapi aktivis Islam. Oleh polisi, kasus terakhir kemarin berupa penyerbuan terhadap Markas Polisi sektor Hamparan Pasir, Sumatra Utara, dikaitkan dengan aksi balas dendam para teroris. Menurut polisi, para teroris ini melakukan balas dendam karena rekan-rekan mereka dibunuh dan ditangkap oleh Densus 88 dalam penggerebekan sebelumnya. Ada banyak keanehan besar disini. Pertama, Sepanjang sejarah kampanye perburuan teroris oleh Polisi, orang-orang yang disebut ‘teroris’ ini tidak pernah secara gegabah dan emosional langsung melakukan aksi balas dendam secara membabi buta manakala rekan-rekan mereka digrebek atau dibunuh oleh Densus 88. Tidak rasional mereka langsung balas dendam menyerbu markas polisi ketika 3 orang rekan mereka dibunuh oleh Densus 88, sedangkan tatkala para pemimpin mereka semisal Dr Azhari dan Nurdin M Top terbunuh sama sekali tidak ada aksi balas dendam langsung. Kedua, seperti yang telah sama-sama diketahui, dalam pekan ini kota Medan dan sekitarnya merupakan daerah operasi perburuan terorisme, saat ini Kota Medan dan Sekitarnya sedang dipenuhi’ oleh polisi terutama Densus 88. Logika sederhanaya mana mungkin para teroris ‘sisa-sisa’ penggerebekan ini bisa leluasa menenteng senjata Ak-47 kemudian dengan penuh gaya menyerbu markas polisi yang ada di kawasan yang dipenuhi polisi dan Densus 88. Ini kan sesuatu yang aneh. Ketiga, kenapa baru sekarang teroris ini membalas dendam dan kenapa yang diserang Markas Polsek tidak langsung markas Brimob atau Markas Densus 88 sekalian. Jika mereka terlatih dan memiliki senjata lengkap seperti yang disampaikan oleh Kadiv Humas Polri, kenapa mereka tidak sekalian saja menyerbu Mako Brimob Kelapa Gading untuk membebaskan ‘pemimpin-pemimpin’ mereka yang sedang ditahan polisi disana? Jadi, tidakkah kita memiliki dugaan kuat bahwa aksi penyerbuan terhadap Markas Polsek Hamparan Perak dilakukan oleh Polisi sendiri?. Bisa jadi ini dilakukan supaya Polisi mendapatkan simpati publik dan supaya kampanye besar “Perang Melawan Teroris” semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Allahu a’lam [fr]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun