[caption caption="Taman Ayodya, pada hari Minggu pagi di penghujung bulan Agustus 2015"][/caption]
Dalam rangka merayakan Hari Habitat Dunia pada tanggal 5 Oktober 2015 nanti, hampir di seluruh dunia dibahas tema yang menjadi masalah universal di setiap pemukimam, baik di desa maupun di kota; ruang publik bagi semua warga. Perkotaan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan perkembangan kota yang pesat, sangat membutuhkan keberadaan ruang publik untuk semua warganya. Sebenarnya, tanggung jawab siapakah keberadaan ruang publik ini? Tanggung jawab pemerintah? Tanggung jawab pengelola? Atau juga tanggung jawab warga kota pemakai ruang?
Apa saja yang bisa dianggap sebagai ruang publik? Menurut catatan dari UN Habitat, ruang publik bisa berupa taman, jalan, tempat pejalan kaki, pasar, maupun ruang bermain bagi anak. Ruang publik ini bisa dimasuki dan dinikmati secara gratis oleh siapapun. Penyediaan ruang publik yang disertai perencanaan dan penataan yang benar bisa membantu menciptakan kota yang ramah bagi semua.
Kebutuhan akan ruang publik ini bisa dirasakan setiap Minggu pagi. Di Jakarta, jalan Sudirman dan Thamrin yang menjadi ruang interaksi publik selama beberapa jam dalam car free day (CFD) senantiasa dipenuhi dengan wajah-wajah ceria warga yang datang untuk berolah raga, bermain, maupun sekedar kumpul reuni sambil jalan pagi. “Yuk, ikutan CFD…,” merupakan ajakan yang cukup sering dibagikan lewat pesan singkat melalui telpon genggam maupun media sosial.
Selain di jalan Sudirman dan Thamrin, keceriaan juga bisa terlihat di berbagai taman di Ibukota. Contohnya di Taman Ayodya dan Taman Langsat yang ada di Kebayoran, Jakarta Selatan. Ketika mengunjungi kedua taman ini pada suatu hari Minggu di bulan Agustus 2015, terlihat betapa berharganya keberadaan kedua taman ini bagi warga kota.
[caption caption="Anak-anak bermain bersama, menikmati kebebasan ruang publik di Taman Ayodya"]
Minggu pagi itu, wajah-wajah ceria yang penuh canda tawa terlihat di berbagai sudut Taman Ayodya. Ada wajah-wajah ceria dari anak-anak yang dengan kreatif menciptakan kesenangan mereka sendiri; di satu pojok mereka bermain ikan di danau buatan, di pojok lainnya ada yang bermain luncuran, di pojok berbeda ada yang sedang sibuk dengan balon yang baru dibelikan ibunya. Ada juga wajah-wajah penuh tawa dari anggota komunitas yang sedang berkumpul untuk hunting foto. “Belum kenal semua sih, saya hanya diajak teman ikutan ke sini,” kata Widya, seorang remaja putri menjelaskan kehadirannya di Taman Ayodya dalam acara bersama komunitas itu.
Di Taman Langsat yang letaknya berseberangan dengan Taman Ayodya ada wajah-wajah ceria yang berbeda. Terlihat komunitas pencinta anjing sedang mengadakan acara. Mereka datang dengan anjing kebanggaan mereka, dan saling berkisah, berbagi informasi seputar anjing. Di bagian lain taman, ada anak-anak yang sedang membuat tugas sekolah. Dengan berseragam sekolah, mereka sedang membuat video. Tak jarang mereka tertawa lepas, menertawai kesalahan mereka ketika salah mengucapkan dialog. Sementara itu sekelompok keluarga muda mengisi lokasi taman yang menyediakan tempat bermain anak.
Pengunjung kedua taman ini bukan hanya yang berasal dari pemukiman di sekitar taman, melainkan ada juga yang berasal dari Serpong dan Bekasi, daerah pemukiman di luar Jakarta. Interaksi komunitas yang umumnya berbasis sosial media membuat ruang-ruang publik yang tersedia menjadi sarana yang dinikmati masyarakat secara meluas.
[caption caption="Keakraban ayah dan anak mengisi Minggu pagi di Taman Ayodya"]
Taman Ayodya sempat menjadi sorotan media dan media sosial ketika terjadi penggusuran untuk mengembalikan fungsinya sebagai taman kota. Sejak tahun 1969, taman ini sudah ditempati oleh pedagang ikan dan kemudian juga menjadi salah satu sentra penjualan bunga potong dan bunga papan di Jakarta. Jadi, ketika pemerintah ingin mengembalikan fungsinya sebagai taman pada tahun 2009, tidak heran bila protes timbul dari berbagai kalangan.