Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat peradaban manusia semakin canggih dan berkembang dalam mengikuti arus perkembangan global. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, manusia modern seringkali dihadapkan pada krisis multidimensional yang mencakup degradasi lingkungan, konflik sosial, dan kekosongan spiritual. Kemajuan material yang pesat ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan pencapaian kebahagiaan dan harmoni hidup. Kondisi ini mendorong pencarian kembali terhadap sistem nilai dan kearifan lokal (local wisdom) yang menawarkan pandangan dunia yang lebih holistik dan seimbang sebagai alternatif dari paradigma antroposentris yang dominan. Perkembangan semakin pesat membuat arus globalisasi semakin modern dan tidak terlepas dengan teknologi.
Salah satu kearifan lokal Nusantara yang menawarkan solusi konseptual atas krisis tersebut adalah Tri Hita Karana. Berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Bali, Tri Hita Karana, yang secara harfiah berarti "tiga penyebab kebahagiaan", adalah sebuah filsafat hidup yang menekankan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dan seimbang. Konsep ini bukan sekadar norma sosial, melainkan sebuah kerangka kerja etis dan spiritual yang komprehensif untuk mencapai kesejahteraan sejati.
Latar Belakang
Di era digitalisasi, di mana aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan, model pembangunan yang semata-mata mengejar keuntungan ekonomi tidak berkelanjutan. Akibatnya adalah kerusakan lingkungan yang masif, ketimpangan sosial yang melebar, dan krisis makna dalam kehidupan individu. Tri Hita Karana yang menempatkan harmoni sebagai tujuan utama, bukan sekadar pertumbuhan. Hal ini penting karena merupakan jawaban dari kearifan lokal untuk tantangan global, sebuah pengingat bahwa kemajuan sejati tidak dapat dicapai dengan mengorbankan salah satu dari tiga pilar kehidupan: spiritualitas, komunitas, dan alam. Relevansi Tri Hita Karana tidak terbatas pada konteks Bali. Prinsip-prinsipnya bersinggungan langsung dengan berbagai isu krusial yang dihadapi dunia saat ini.
Dalam Polarisasi politik, konflik antarumat beragama, dan individualisme yang ekstrem dapat diredam dengan mengamalkan sikap saling asah asih asuh. Di tengah gempuran globalisasi yang cenderung menyeragamkan budaya, Tri Hita Karana menekankan pentingnya melestarikan identitas dan kearifan lokal. Namun, di era globalisasi dan modernisasi yang serba cepat saat ini, implementasi Tri Hita Karana menghadapi tantangan yang kompleks dan signifikan. Pesatnya pembangunan pariwisata, masuknya investasi asing, dan pergeseran nilai-nilai sosial telah memicu berbagai isu krusial di masyarakat. Isu-isu ini sering kali memunculkan ketegangan antara pelestarian tradisi dan tuntutan pembangunan ekonomi. Tri Hita Karana menawarkan solusi berkelanjutan untuk masalah-masalah lingkungan dan sosial. Misalnya, praktik subak sebagai sistem irigasi tradisional Bali yang merupakan manifestasi nyata dari hubungan harmonis antara manusia dan alam, terancam oleh alih fungsi lahan sawah menjadi bangunan komersial. Di sisi lain, nilai-nilai Pawongan yang mengedepankan gotong royong dan kebersamaan mulai terkikis oleh individualisme dan materialisme. Hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan) juga berpotensi mengalami disorientasi, di mana ritual dan upacara keagamaan terkadang lebih dilihat sebagai atraksi wisata ketimbang sebagai ekspresi spiritual yang mendalam.
Pembahasan / Isi Utama
Tri Hita Karana merupakan tiga konsep filosofi Hindu Bali yang mengajarkan tentang keseimbangan dan keharmonisan melalui hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (Palemahan). Dalam esensinya, konsep Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan yang harus dijaga dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Tri Hita Karana keseimbangan dan kebahagian hanya dapat terwujud apabila manusia berupaya menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Dimana tidak merusak lingkungan, saling menjaga antar sesama. Konsep Tri Hita Karana (THK) pada dasarnya adalah sebuah landasan yang bersumber agama hindu namun sejatinya konsep ini adalah konsep yang universal yang eksis dalam kehidupan setiap umat beragama di dunia. Disebut eksis karena THK pada intinya mengedepankan harmoni dan prinsip-prinsip kebersamaan dalam kehidupan umat manusia. Hidup harmoni di tengah-tengah suasana kebersamaan yang tulus dan murni, tentu jadi idaman tiap manusia dimanapun berada tanpa membedakan aliran ataupun kepercayaan (Windia dan Dewi, 2006).
Subak merupakan pilar kebudayaan di Bali. Subak dapat menjadi lembaga tradisional yang ada di Bali yang memiliki peranan strategis dalam menunjang pembangunan nasional, dan berperan dalam pelestarian lingkungan dengan nilai-nilai THK dan kearifan lokal yang dimilikinya. Lingkungan topografi dan kondisi sungai di Bali yang umumnya curam menyebabkan sumber air untuk suatu komplek persawahan petani terletak cukup jauh, dan terkadang petani harus membuat terowongan. Kondisi ini yang menyebabkan petani tidak mampu untuk bekerja sendiri, dan mengharuskan untuk menghimpun diri dalam bentuk kelompok, yang dikenal dengan subak. Dalam subak, tercermin sifat kegotong-royongan antar anggota subak untuk saling membantu guna memenuhi kebutuhannya (Astiti, 2015).
Tri Hita Karana adalah konsep filosofis dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali yang berarti "tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan". Tiga penyebab ini bersumber dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan tiga elemen utama.
Ketiga elemen tersebut adalah:
- Parahyangan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
- Pawongan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia.
- Palemahan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.
Keterkaitan Erat Subak dengan Tri Hita Karana
Subak adalah implementasi sempurna dari Tri Hita Karana dalam dunia agraris. Setiap aspek dalam Subak mencerminkan ketiga pilar filosofi tersebut.
1. Aspek Parahyangan (Hubungan dengan Tuhan)
Hubungan spiritual adalah jantung dari sistem Subak. Air tidak dianggap sebagai sumber daya alam biasa, melainkan sebagai anugerah dari Dewi Sri (Dewi Kemakmuran dan Padi) yang dialirkan melalui restu Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Wujud Nyata dalam Subak:
- Pura Subak: Setiap Subak memiliki pura khusus (seperti Pura Ulun Suwi atau Pura Bedugul) yang terletak di dekat sumber air atau di area persawahan. Pura ini adalah pusat kegiatan ritual Subak.
- Ritual Keagamaan: Para petani secara kolektif melakukan berbagai upacara dan persembahan (yadnya) pada setiap tahapan pertanian. Mulai dari upacara saat akan menanam bibit (mapag toya), saat padi mulai berisi (mebiyu kukung), hingga upacara saat panen sebagai wujud rasa syukur.
- Keyakinan: Segala kegiatan pertanian harus dimulai dengan memohon izin dan restu dari Tuhan agar diberikan kelancaran, kesuburan, dan hasil panen yang melimpah.
2. Aspek Pawongan (Hubungan dengan Sesama Manusia)
Subak adalah sebuah organisasi sosial yang sangat mengedepankan kebersamaan, keadilan, dan harmoni. Tanpa hubungan yang baik antar-petani, sistem pembagian air yang rumit ini tidak akan pernah berhasil.
Wujud Nyata dalam Subak:
- Musyawarah dan Mufakat: Semua keputusan penting, seperti jadwal tanam, jadwal pembagian air, dan perbaikan saluran irigasi, diputuskan melalui rapat (sangkepan) yang dihadiri oleh seluruh anggota (krama subak).
- Gotong Royong: Anggota Subak bekerja sama untuk membersihkan dan memperbaiki saluran air, bendungan, dan terowongan. Semangat saling membantu ini memastikan seluruh sistem berfungsi optimal.
- Keadilan: Air dibagi secara proporsional dan adil. Jika ada anggota yang melanggar aturan (awig-awig), akan dikenakan sanksi adat yang telah disepakati bersama. Ini menjaga keharmonisan dan mencegah konflik.
- Struktur Organisasi: Adanya Pekaseh sebagai pemimpin dan staf lainnya menunjukkan adanya struktur sosial yang terorganisir untuk mengelola hubungan antar-anggota.
3. Aspek Palemahan (Hubungan dengan Lingkungan)
Subak adalah contoh luar biasa dari pertanian berkelanjutan yang menghormati dan menjaga keseimbangan alam. Para petani tidak hanya mengeksploitasi alam, tetapi juga merawatnya.
Wujud Nyata dalam Subak:
- Sistem Terasering: Sawah dibuat berundak-undak (terasering) mengikuti kontur perbukitan. Ini bukan hanya indah dipandang, tetapi juga merupakan teknik konservasi yang sangat efektif untuk mencegah erosi dan mengelola aliran air.
- Manajemen Air Efisien: Air dialirkan dari hulu ke hilir melalui jaringan kanal dan terowongan yang kompleks, memastikan tidak ada air yang terbuang sia-sia.
- Menjaga Ekosistem: Aturan dalam Subak seringkali mencakup larangan menebang pohon di sekitar sumber mata air. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber air itu sendiri, yang merupakan bukti kesadaran ekologis yang mendalam.
- Siklus Harmonis: Jadwal tanam yang diatur bersama juga bertujuan untuk memutus siklus hama secara alami, mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia.
Penutup
Subak lebih dari sekadar sistem irigasi; ia adalah sebuah filosofi hidup yang dipraktikkan. Di dalamnya, kegiatan bertani tidak bisa dipisahkan dari ritual keagamaan (Parahyangan), interaksi sosial yang adil dan kooperatif (Pawongan), serta pengelolaan lingkungan yang bijaksana dan berkelanjutan (Palemahan). Keberhasilan Subak selama berabad-abad membuktikan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan sejati dapat tercapai ketika ada keseimbangan harmonis antara manusia, sesama, dan alam semesta. Jangan pernah tinggalkan ritual suci dalam subak. Teruslah wariskan kepada generasi muda bahwa air adalah berkah Tuhan yang harus dijaga kesuciannya, Sistem Subak adalah contoh paling nyata dan agung dari harmoni Pawongan. Di sini, ego individu dilebur dalam kepentingan bersama. Para krama subak bermusyawarah (sangkepan) untuk memutuskan segala hal, mulai dari jadwal tanam hingga distribusi air secara adil dan merata. Prinsip paras paros sarpanaya (saling memberi dan menerima dalam semangat kebersamaan) menjadi landasan utamanya. Ajakan moralnya: Pertahankanlah demokrasi dan keadilan dalam setiap keputusan subak. Jauhilah konflik internal yang dipicu oleh keserakahan. Ingatlah bahwa setetes air yang mengalir ke sawah tetangga adalah bagian dari rezeki kita bersama. Gotong royong dalam membersihkan saluran irigasi (ngempelan) adalah simbol nyata dari kebersamaan yang harus terus dijaga. Gunakanlah pupuk organik dan hindari pestisida berlebihan yang meracuni tanah dan air. Pertahankanlah sawah sebagai lumbung pangan dan paru-paru Bali. Menjual sawah untuk kepentingan sesaat sama artinya dengan merusak warisan tak ternilai yang telah menghidupi kita selama berabad-abad. Jaga setiap jengkal palemahan subak, karena di sanalah kehidupan kita bersemi.
Daftar Pustaka
Astiti, S., Wayan, N., Windia, W., & Lestari, P. F. K. (2015). Penerapan Tri Hita Karana untuk Keberlanjutan Sistem Subak yang Menjadi Warisan Budaya Dunia: Kasus Subak Wangaya Betan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Jurnal Manajemen Agribisnis, 3(1), 26290.
Windia, W.2006.Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI