Mohon tunggu...
Restu A Putra
Restu A Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak menulis kecuali yang baik

Buku Cerpennya, Siapa Sebenarnya Ajengan Hamid Sebelum Diburu Anjing-Anjing? (Rua Aksara, 2019)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Mau Meninggalkan Ustaz Abdul Somad?

5 Desember 2019   12:00 Diperbarui: 5 Desember 2019   12:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada "Ironi" dalam Islam. Seperti ungkapan misalnya, Wah katanya Ustaz tapi kok anaknya bandel. Atau, Ih orangnya alim tapi gagal gak bisa ngedidik istrinya yang hedon. Atau, Ustaz tapi keluarganya berantakan. Atau, selama ini alim pendiam, eh ternyata...bla bla bla...

Efeknya adalah tidak ada orang yang percaya pada omongannya meski yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran. Atau lebih parahnya lagi meragukan kebenaran Islam. Sentimen negatif. Lalu mencari-cari kebenaran Islam sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Kalau Islam membolehkan hura-hura dan maksiat, nah baru itu Islam saya. Begitulah kira-kira.

Saya ingin katakan, tidak ada Ironi dalam Islam. Ini yang mesti benar-benar dipahami, walau kenyataannya memang sulit. Saya sendiri seringkali teperangkap sentimen negatif seperti itu. Ada saja sedikit yang tercoreng dari "oknum orang saleh yang salah" maka naluri saya dengan seketika menolak kebenaran apapun yang datang darinya.

Tapi perkara ini ternyata bukan terjadi di zaman ini. Jika merujuk kepada sejarah, sebagaimana disampaikan Al-Quran, seandainya Nabi Nuh dianggap gagal hanya karena ia tidak bisa mendidik anaknya ke dalam Agama Allah alias kafir, maka siapa yang mau percaya Nuh. Ah, ngajak anaknya aja nggak bisa, mau ngajak umat. Tapi bagi Allah tidak begitu. Kebenaran datang dari Allah; Al-Quran yang diwahyukan melalui Rasulnya, Muhammad Saw Rasulullah beserta sunnahnya. Maka sebagai sebuah Dien, Islam tidak akan tercoreng oleh apapun sekalipun Allah menghendaki ia keluar dari siapapun sesuai kehendakNya.

Nuh As tetap Nabiyullah yang mewarisi surganya. Anaknya yang tersesat bukanlah bagian dari golongannya. Begitu juga dengan istrinya.

Nabi Luth tidak berhasil mendakwahkan istrinya ke jalan Allah Swt. Tapi Allah Swt tetap menjadikannya Nabiyullah, karena Luth telah berupaya mendakwahinya. Perkara hidayah diterima atau tidak, maka itu telah terlepas darinya. Itu urusan Allah.

Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), "Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)." (Qs At-Tahrim 66: 10)

Okelah barangkali saya dianggap tidak adil hanya menceritakan istri-istri (perempuan) yang tidak taat dan patuh pada suami dari perspektif saya seorang laki-lagi hanya untuk menjustifikasi satu sudut pandang kasus seolah laki-laki di atas kebenaran segalanya.

Kita lihat Al-Quran mengetengahkan lagi sejarah istri Firaun, Asiah, yang shalihahnya bukan main. Perhatikan bagaimana Allah menceritakan bagaimana sikap Asiah sebagai seorang istri Firaun.

Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir'aun, ketika dia berkata, "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim," (QS At-Tahrim 66: 11)

Dalam ketidakberdayaan, Al-Quran mengajarkan sikap seorang istri penguasa zalim yang tidak tanggung-tanggung ngaku sebagai Tuhan. Tapi Asiah tidak arogan melawan. Asiah berdoa. Allahlah sang Pemilik Kekuasaan atas dunia ini.

Atau, bahkan ketika para kaum lelaki (suami) mengharap istri shalihah adalah mereka yang bahkan untuk cemburu pun dilarang, sebagian istri Rasul Saw saja kerap cemburu, dan dalam satu momen pernah juga istri-istri bersitegang satu sama lain hingga kalau dalam bahasa sekarang piring sampai beterbangan. Tapi toh itu tidak mengurangi derajat mereka di sisi Allah Swt sebagai Ummahatul Mukminin, ibu bagi kaum mukminin (Qs Al Ahzab 33: 6).
 
Coba lihat juga Tafsir Ibnu Katsir surat At-Tahrim ayat 1-5, ketika Hafshah istri Nabi marah dan cemburu melihat Nabi sedang bersama budaknya, Mariyah Al-Qibtiyah, di kediaman Hafshah sehingga turunlah ayat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun