Dalam keadaan sekarang yang semakin sibuk menghitung angka pertumbuhan dan mengejar laba, ada sesuatu yang terasa kurang.Ada yang angka naik, teknologi berkembang, dan kesenjangan sosial melebar. Dalam riuhnya pasar global, manusia seolah kehilangan makna dari kesejahteraan itu sendiri. Krisis ekonomi yang berulang, seperti 1998, 2008, hingga gejolak pasca pandemi, bahwasanya ini membuktikan bahwa sistem ekonomi modern terlalu jelek bila hanya bertumpu pada uang dan ambisi (Chapra, 1992). Di titik inilah ekonomi Islam hadir bukan sebagai sistem yang kaku, melainkan sebagai penyeimbang antara materi dan moral,serta antara pasar dan nurani (Siddiqi, 1981).
Kita sering mendengar bahwasanya dianjuran pedagang bersikap jujur dan tidak menipu,Namun etika personal itu tidak cukup untuk menghadapi arus kapitalisme global yang menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya untuk mencapai kesuksesan.Islam juga tidak berhenti di tingkat moral individu. Ia membangun struktur ekonomi yang melindungi keadilan sosial secara sturuktural. Prinsip larangan riba, kewajiban zakat, larangan gharar (ketidakpastian berlebihan), dan pembagian risiko adalah kerangka hukum yang menjaga agar aktivitas ekonomi tidak melahirkan kezaliman sesame manusia (Antonio, 2001). Allah juga menegaskan di dalam Al-Qur'an: "...agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr: 7). Ayat ini menjadi Gambaran sebenarnya ekonomi Islam menegaskan bahwa pembagian kekayaan harus merata dan berkeadilan. Dalam konteks modern ini, berarti sistem keuangan harus memastikan prasangka terhadap real sektor bukan hasil pemikiran (Ascarya, 2011).
Zakat bukan sekadar amal keagamaan,melainkan perintah redistribusi kekayaan yang wajib. Jika diterapkan dengan sistem yang baik, zakat dapat menjadi metode menghilangkan kemiskinan yang berkelanjutan (Qardhawi, 2000). Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) melaporkan bahwasanya potensi zakat nasional Indonesia mencapai Rp327 triliun per tahun, tetapi nyatanya baru sekitar 4--5 persen (BAZNAS, 2023). Angka ini menunjukkan masih ada jarak antara ajaran dan pelaksanaan. Jika potensi itu terlaksana,dampaknya terhadap penurunan kemiskinan bisa terjadi bahkan mampu menekan kesenjangan yang selama ini tak tersentuh subsidi pemerintah.
Namun pada umumnya istilah "ekonomi syariah" sering berhenti di lembaga. Banyak lembaga keuangan masih beroperasi dengan pola konvensional,cuman mengganti istilah bunga menjadi keuntungan.Padahal hakikat ekonomi Islam bukan hanya soal nama akad,akan tetapi tujuan dan proses yang menjamin keadilan (Ismail, 2011). Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menulis bahwa "tujuan dari muamalah adalah menjaga lima maqashid: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta." Ini berarti, ekonomi tidak boleh menzalimi atau membuang satu pun dari aspek kemanusiaan tersebut. Maka, lembaga keuangan syariah yang sekadar "mengganti istilah" tanpa menata kembali struktur dan niatnya, justru kehilangan makna utama dari syariat itu sendiri (Tarmizi, 2020).
Modernitas membawa kemajuan luar biasa---digitalisasi, fintech, pasar global. Tapi di baliknya, jurang ketimpangan semakin dalam. World Inequality Database (2024) mencatat, 10% orang terkaya di dunia kini menguasai lebih dari 76% total kekayaan global. Angka ini memperlihatkan betapa struktur ekonomi global tidak berpihak pada keadilan. Ekonomi Islam datang dengan prinsip maslahah (kemanfaatan umum) yang bisa menjembatani krisis tersebut. Fintech syariah, misalnya, dapat membuka akses pembiayaan bagi pelaku UMKM tanpa bunga. Wakaf produktif bisa menjadi sumber modal sosial untuk pendidikan dan riset (Karim, 2010). Investasi halal yang beretika juga dapat menekan praktik spekulatif yang merusak pasar. Jika dijalankan dengan integritas, sistem ini bisa menjadi jalan tengah antara efisiensi modern dan moralitas spiritual.
Namun tantangan terbesar ekonomi Islam bukan pada konsepnya, melainkan pada implementasinya. Banyak ide besar berhenti di ruang seminar, sementara praktik di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Islam. Diperlukan tiga langkah strategis: pertama, pendidikan dan literasi luas agar masyarakat memahami filosofi, bukan sekadar istilah; kedua, regulasi dan pengawasan syariah yang tegas dan transparan; ketiga, inovasi ekonomi berbasis nilai, seperti crowdfunding wakaf, tokenisasi aset halal, dan zakat digital (OJK, 2024). Dengan langkah-langkah ini, ekonomi Islam tidak hanya menjadi "alternatif moral", tetapi solusi praktis bagi krisis kemiskinan dan ketimpangan.
Ekonomi sejatinya berasal dari kata Yunani oikos (rumah) dan nomos (aturan): "tata kelola rumah bersama." Jika rumah itu hanya diatur oleh keserakahan, maka ia akan runtuh oleh dirinya sendiri. Tapi bila diatur dengan nilai ilahiah, rumah itu akan menjadi tempat tumbuhnya kesejahteraan dan kasih sayang. Dalam Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan jalan menuju keadilan dan kemuliaan manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad). Maka, ekonomi Islam sejatinya bukan hanya soal transaksi tanpa riba, melainkan bagaimana kekayaan menjadi sarana kemanfaatan bagi sesama. Ekonomi modern yang haus pertumbuhan telah lama kehilangan lawannya.Dalam hal ini, kekosongan nilai ekonomi modern harus dilawan dengan keseimbangan ekonomi Islam. Karena ekonomi yang baik bukan sekadar menumbuhkan angka, tapi juga menumbuhkan nurani.
Referensi:
Chapra, M. U. (1992). Islam and the Economic Challenge.
Siddiqi, M. N. (1981). Muslim Economic Thinking.
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!