Mohon tunggu...
Resti Apriyana
Resti Apriyana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang mempunyai segudang impian!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menangkap Harapan: Tradisi Tujuh Bulanan dengan Belut dalam Budaya Jawa

20 Mei 2025   22:25 Diperbarui: 20 Mei 2025   22:21 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah banyaknya pergeseran budaya yang terjadi akibat globalisasi dan modernisasi, tidak semua tradisi masyarakat Indonesia luntur begitu saja. Salah satu yang masih bertahan dan tetap hidup di tengah masyarakat adalah tradisi tujuh bulanan atau mitoni dalam budaya Jawa. Tradisi ini tidak hanya menyimpan makna spiritual, tetapi juga menyiratkan filosofi mendalam mengenai kehidupan, harapan, dan proses kelahiran.

Ditengah ferasnya arus modernisasi, masyarakat Jawa masih mempertahankan banyak adat tradisional. Salah satunya adalah tradisi mitoni, yang juga dikenal sebagai bulanan tujuh—sebuah acara ritual yang dilakukan ketika orang-orang mampu memenuhi tujuan bulan mereka. Tradisi ini bukan hanya sebuah upacara keagamaan; ini juga mencakup doa dan pengharapan untuk keselamatan orang tua dan anak-anak. Salah satu bagian yang paling unik dalam tradisi ini adalah prosesi menangkap belut. Sekilas terdengar ganjil, tapi sesungguhnya penuh filosofi. Belut, yang dikenal sebagai hewan licin dan gesit, menjadi simbol dari tantangan, perjuangan, dan harapan.

Dalam pelaksanaannya, sang ibu hamil mengenakan sarung longgar, lalu duduk bersila atau bersimpuh. Kemudian, seekor belut hidup yang masih segar dimasukkan ke dalam sarungnya. Belut ini akan bergerak-gerak, dan tanpa disadari, bisa saja keluar sendiri atau “tertangkap” oleh sang ibu.Prosesi ini bukan sekadar hiburan atau tradisi turun-temurun tanpa makna. Sarung dianggap sebagai lambang rahim, sementara belut mewakili bayi dalam kandungan. Ketika belut dapat keluar dengan lancar dari sarung, hal itu diyakini sebagai pertanda kelancaran proses persalinan kelak. Sebaliknya, jika belut susah keluar, maka keluarga akan berdoa lebih khusyuk demi kelancaran yang diharapkan.

Tradisi ini mencerminkan kehatian-hatian masyarakat Jawa terhadap proses kehamilan dan kelahiran, yang dianggap sakral dan penuh risiko. Dengan menggunakan simbol belut, masyarakat ingin menggambarkan bahwa proses kelahiran bukan hanya tentang fisik, tapi juga melibatkan kekuatan batin, doa, dan pengharapan. Belut dipilih bukan tanpa alasan. Dalam kehidupan nyata, belut mampu hidup di dua alam—air dan lumpur—yang mencerminkan kemampuan adaptasi dan perjuangan hidup. Ini menggambarkan harapan orang tua bahwa anak yang lahir kelak akan tangguh, lentur dalam menghadapi kehidupan, serta mampu bertahan dalam berbagai situasi.

Selain itu, tradisi ini menjadi cara masyarakat Jawa mengajarkan nilai kebersamaan, cinta keluarga, dan spiritualitas, sebab prosesi mitoni selalu melibatkan banyak pihak: keluarga besar, tetangga, bahkan tokoh adat atau sesepuh desa. Semua hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moral bagi calon ibu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun