Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia, yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dirilis pada tahun 2022, merupakan adaptasi dari film Korea Selatan yang fenomenal pada 2013 dengan judul yang sama. Versi aslinya dikenal sebagai film yang sukses membuat penonton di berbagai negara meneteskan air mata. Adaptasi Indonesia ini membuktikan bahwa meskipun berasal dari budaya yang berbeda, kisah tentang cinta tanpa syarat dan ketidakadilan hukum adalah tema yang bersifat universal. Dengan menyisipkan nilai-nilai lokal dan latar budaya Indonesia, film ini berhasil menggugah hati penonton dengan cara yang baru namun tetap menyentuh.
Film ini mengisahkan Dodo Rozak diperankan oleh Vino G. Bastian, seorang pria penyandang disabilitas intelektual yang hidup bahagia bersama putrinya, Kartika diperankan oleh Graciella Abigail. Dunia mereka runtuh ketika Dodo dituduh memperkosa dan membunuh seorang anak kecil, yang tak lain adalah anak seorang pejabat. Ia dipenjara dan dijatuhi hukuman mati. Di balik jeruji besi, Dodo ditempatkan di sel nomor 7 bersama para narapidana lain yang awalnya curiga padanya. Namun, seiring waktu, mereka tersentuh oleh kepolosan dan kasih sayangnya, lalu membantu menyelundupkan Kartika ke dalam penjara agar Dodo bisa kembali bersamanya. Kisah ini diceritakan ulang oleh Kartika dewasa yang diperankan oleh Mawar Eva de Jongh, yang kini menjadi pengacara dan mencoba membersihkan nama ayahnya.
Sebagai adaptasi dari film Korea, versi Indonesia tidak sekadar menyalin cerita, melainkan menerjemahkannya ke dalam konteks sosial dan budaya lokal. Latar tempat, sistem hukum, hingga dinamika sosial dipindahkan ke lingkungan Indonesia yang lebih dekat dengan penonton domestik. Tokoh utama yang dalam versi Korea bernama Yong-gu, diubah menjadi Dodo Rozak, dan berhasil diperankan dengan sangat emosional oleh Vino G. Bastian. Aktingnya yang penuh perasaan membuat penonton ikut merasakan kepedihan dan ketulusan cinta seorang ayah.
Beberapa elemen penting seperti hubungan ayah-anak, perjuangan menghadapi sistem hukum yang tidak adil, serta solidaritas sesama narapidana tetap dipertahankan. Namun, penyampaian emosinya terasa lebih "Indonesia" melalui dialog, latar, dan nilai-nilai kekeluargaan yang khas. Film ini menunjukkan bahwa adaptasi yang baik bukan sekedar meniru, melainkan menanamkan kembali makna dalam tanah yang berbeda.
Miracle in Cell No. 7 tidak hanya mengajak penonton menangis karena tragedi, tapi juga merenung tentang arti keadilan dan kemanusiaan. Film ini menggambarkan betapa sistem hukum bisa sangat kejam terhadap kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas. Di sisi lain, kasih sayang yang tulus antara ayah dan anak menjadi kekuatan utama film ini. Dodo bukan hanya tokoh utama, tapi simbol dari banyak orang kecil yang suaranya terpinggirkan. Film ini menyentuh hati, memantik empati, dan menyadarkan kita bahwa cinta sejati tak pernah butuh logika.
Sebagai adaptasi, Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia adalah salah satu contoh keberhasilan sinema lokal dalam menerjemahkan kisah internasional ke dalam konteks nasional yang kuat dan emosional. Film ini menyajikan kisah yang sederhana, namun penuh makna dan pesan moral. Layak ditonton oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang ingin merasakan betapa besar cinta orang tua dan betapa pentingnya keadilan yang berpihak pada kemanusiaan. Film ini bukan hanya menyentuh hati tapi juga mengetuk nurani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI