Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nestapa Para Pengungsi, Kala Kalkulasi Ekonomi Kalahkan Empati

30 Oktober 2018   22:16 Diperbarui: 30 Oktober 2018   22:27 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa korban gempa di Kantor Bupati Lombok Utara, NTB, Rabu (26/9/2018). (ist)

Babak baru drama kemanusiaan tengah bergulir di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Belum kering air mata karena hantaman bencana gempa, kini korban harus kembali nestapa, akibat dana bantuan dari negara yang tak kunjung ada. Tampaknya duka dan derita akan terus membalut hidup mereka untuk waktu yang agak lama.

Hari ini, Selasa (30 Oktober 2018), ribuan pengungsi korban bencana di Lombok Utara kembali berunjuk rasa. Mereka menuntut pemerintah segera merealisasikan bantuan gempa. Massa juga mendesak Kementerian Sosial untuk merealisasikan dana jaminan hidup (jadup) Rp3 juta per kepala keluarga.

Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ribuan warga yang sudah sengsara menjalani hidup di tenda, terpaksa harus berteriak untuk mengetuk pintu hati penguasa. Lagipula, yang mereka minta juga bantuan dana yang dulu pernah dijanjikan oleh para pemangku kepentingan.

Sejak mula, memang sudah banyak kritikan terhadap pemerintah yang terkesan gagap dalam penanganan bencana. Mirisnya lagi, pemerintah bahkan menerapkan kebijakan untung rugi dalam menetapkan status bencana. Kalkulasi ekonomi mengalahkan nurani dan empati.

"Karena begitu dinyatakan bencana nasional, maka seluruh Pulau Lombok akan tertutup untuk wisatawan dan itu kerugiannya lebih banyak," begitu penggalan kalimat yang terlontar dari mulut Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung saat menjawab tanya wartawan terkait status bencana gempa Lombok, sebagaimana dimuat detik.com dengan judul berita, "Istana: Jika Gempa NTB Jadi Bencana Nasional, Ruginya Lebih Banyak."

Kebijakan itu membuat gusar banyak pihak. Salah satunya Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Menurut dia, dalam urusan bencana, tak patut pemerintah berbicara soal untung rugi. Persoalan kemanusiaan seharusnya tidak lagi diukur dari segi materi.

Namun, pemerintah tetap bersikukuh dengan kebijakannya. Gempa Lombok tidak dikategorikan sebagai bencana nasional. Imbasnya, seperti dugaan banyak orang, penanganan kurang maksimal, bantuan telat datang, dan anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi tak kunjung ada kejelasan.

Kian memiriskan, di tengah nestapa mendera korban gempa, pemerintah malah menggelar pesta mewah di pulau tetangga. Mereka menjamu tamu asing dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) dengan anggaran hampir Rp 1 triliun.

Tak berhenti di sana, pada akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga membebaskan tarif Jembatan Tol Suramadu, Jawa Timur. Memang, kebijakan itu tidak salah, tapi yang membuat miris adalah pernyataan Jokowi yang mengatakan negara tidak memikirkan untung rugi dalam pembebasan tarif itu.

"Negara itu tidak berhitung untung atau rugi. Negara itu berhitung yang berkaitan dengan keadilan sosial, yang berkaitan dengan rasa keadilan, kesejahteraan. Itu yang dihitung," kata Jokowi, Sabtu (27/10/2018), dikutip dari berita cnnindonesia.com yang berjudul, "Gratiskan Suramadu, Jokowi Sebut Negara Tak Pikir Untung-Rugi."

Beda tempat, beda perlakuan. Ini yang sangat disayangkan. Mungkin saja pemerintah tidak pernah bermaksud hendak menganaktirikan. Kita berbaik sangka saja. Tapi inilah yang dirasa oleh para pengungsi korban gempa. Pemerintah tak boleh terus-menerus menutup mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun