Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hai, Pemangku Kebijakan Pangan! Belajarlah dari Mafia Pangan

18 Februari 2023   07:05 Diperbarui: 18 Februari 2023   19:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: unsplash.com

Bangsa Indonesia tidak akan pernah bersuka cita pada kenyataannya jika harga-harga pangan melambung tinggi, seperti sudah terjadwal bahwa jika menghadapi hari raya umat beragama, berita-berita utama adalah harga kenaikan. 

Tidak pernah terevaluasi serius dari tahun 1999 dimana saya sudah bisa mendengar berita dari Liputan 6 petang ketika masih bersekolah Taman Kanak-Kanak. 

Ya krismonlah ya harga naiklah, berakibat pula pada harga jajanan anak sekolah pada waktu itu terlebih jajanan yang berbahan dasar : telur, daging ayam, dan tepung, bahkan buah-buah segar potong yang harganya melonjak karena kelangkaan, disisi lain himbauan para sanitarian selalu mengumumkan "ayo makan sehat dan bergizi dan sesuai dengan 4 sehat 5 sempurna", tetapi ketika makanan sumber gizi itu hanya menjadi dekorasi karena beberapa anak sekolah tidak mampu membeli, itu adalah hal sia-sia belaka dan menjadi calon limbah pangan yang entah terurai atau tidak dengan kemasannya, tanpa ada intervensi pemerintah daerah pada perhatian konsumsi anak sekolah. Bahkan program sarapan pagi pun hanya sebatas sugesti dan ajakan, tidak pernah ada pembagian serempak untuk jatah gizi anak sekolah, memang ada, tetapi hanya untuk kepentingan dokumentasi acara dengan pemberitaan sewaktu. Terlihat bukan, kontribusi nyatanya ? 

Yang diusut dan diberitakan intens selalu kasus-kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, kisah percintaan dan pembunuhan, pelecehan seksual dimana hal tersebut harusnya tidak selalu ditayangkan ke publik dalam batasan usia, namun pihak tertentu saja sampai masalahnya selesai, miris sekali melihat pemberitaan kelakuan orang-orang dewasa yang rumit harus ditelan bulat-bulat oleh anak-anak yang sudah memiliki alat akses seperti gawai canggih dimana pemberitaan kekejaman dan tidak manusiawi terberitakan ketika usia pertumbuhannya. 

Kasus konflik agraria, sengketa lahan, perampasan tanah di lahan gambut, konflik manusia dengan alat berat tidak pernah diusut tuntas atau diberitakan berkala, semua tersedot oleh pemberitaan skala institusi yang merembet menjadi kepentingan konsumsi informasi publik, sedangkan informasi masalah hajat umat manusia keseharian dimana hal tersebut adalah kepentingan primer kebutuhan hidup seperti : sandang, pangan, papan, dan internet (semenjak pandemi kebutuhan internet melonjak karena semua kegiatan didaringkan, dipaksa daring, dan mencoba daring). 

Tidak pernah diseriusi baik dalam pemberitaan atau dalam pembahasan krusial, seperti agenda tahunan saja, jika ada musyawarah berkonsumsi dan uang jalan barulah hadir para pemangku kepentingan, maka yang menderita adalah pihak yang bekerja di hulu seperti para petani, buruh tani, tukang kebun, pemilik lahan, dan pemasok, dampaknya adalah di bagian hilir seperti dampak kesehatan contohnya masalah gizi yang tidak pernah selesai satu per satu, malah bertambah dan menjadi komplikasi. 

Angka statistik dari data tidak karuan berbagai sumber yang ketika dilacak keberadaannya hasilnya nihil, jadi ketika Big Data atau Data besar tidak bisa disederhanakan, maka perlu dipertanyakan, datanya darimana ? 

Karena sejatinya, data besar akan bisa dilacak sampai data terkecil bahkan pada satuan individu sebagai responden dengan metode penelitian dan teknik sampel apapun, rupanya dalam penelitian pun perlu kejujuran dan keterbukaan, bukan sebatas melipatgandakan honorarium semata, kalau begitu apa bedanya dengan para peminta sumbangan, kelebihannya hanya pada intisari summary atas nama ilmiah dengan menambahkan tautan referensi. 

Ada urgensi yang ingin disampaikan bahwa kehilangan keberadaan komoditas salah satu bahan pangan adalah karena adanya penimbun pangan, dimana ketika barang langka, timbunan tersebut dilejitkan harganya, tapi hal tersebut tidak pernah disaksikan untuk diadili dan dievaluasi, atau memang fenomena seperti ini sudah bisa dinikmati sebagai rutinitas yang menjadi sebuah kebiasaan dan tradisi dimana ujung-ujungnya normalisasi dan hal biasa. 

Jika pemerintah tidak serius menertibkan mafia pangan, apakah harus kelompok masyarakat yang melancarkan hukum rimba kembali untuk aksi-aksi anarkis yang merugikan biaya logistik dan pemeliharaan ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun