Mohon tunggu...
reno raines
reno raines Mohon Tunggu... -

menambah pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Oleh-oleh Pulang Kampung

1 Juni 2011   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113421" align="aligncenter" width="642" caption="Koleksi Pribadi"][/caption]

Terlepas dari ribut-ribut soal cuti bersama tanggal 17 Mei 2011, aku adalah salah satu orang yang diuntungkan dengan diumumkannya cuti bersama melaluiSKB tiga menteri itu.Bagi seorang perantau, libur panjang adalah saat yang sangat dinantikan.Oleh karena itu, aku tidak perlu berpikir panjang untuk segera berkemas, lalu berangkat menuju kampung halaman.Libur panjang di akhir pekan akan membuat jalanan lebih padat dari hari biasa.Apalagi beberapa ruas jalur pantura dari Surabaya-Banyuwangi sedang dalam perbaikan.Aku tidak perduli.Udara panas dan jalanan yang macet tidak akan mengendurkan semangatku untuk segera bertemu dengan keluargaku. Bagiku, pesona kampung halaman tidak akan pernah pudar.Sejauh apapun itu, panggilannya pasti terdengar, jika home sick melanda.Belum lagi bayangan ibuku yang selalu menggelayut di pelupuk mata.Suara beliau yang bisa kudengar hampir tiap hari melalui telpon tidak cukup untuk menuntaskan kerinduan pada beliau.Saat ini, berada di sisi beliau adalah tempat terindah yang bisa aku temukan.Segala keresahan hati, lelah dan letih raga akan sirna begitu aku mencium punggung tangannya, merasakan keteduhan sinar matanya.

Kampung halamanku berjarak tujuh jam perjalanan darat dengan kendaraan umum daritempat aku bekerja.Orang banyak mengenalnya karena beberapa waktu lalu, Malaysia hendak ‘mencuri’ kesenian yang jelas-jelas asli dari tempat aku dilahirkan.Masih aku ingat, saat aku masih kecil, almarhum bapakku sering mengajak aku melihat pertunjukan kesenian itu.Bahkan beliau memberiku buku-buku bacaan yang menceritakan asal-usul kesenian yang akan dicuri negara tetangga kita, pun tentang babad tanah kelahiranku.Tidak cukup sampai di situ, di hari libur, beliau membawaku dan adik-adik bersepeda pancal, mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan di buku babad tanah kelahiranku.Jadi, aku yakin, kesenian Reog adalah milik bangsaku, yang lahir dari kampung halamanku.Malaysia, jangan coba-coba mencurinya.Tidak hanya orang sedaerahku yang akan mempertahankannya, tapi orang setanah airku, Indonesia.

Hari sudah sangat larut saat aku tiba di kampung halaman.Meski tidak sejelas jika disaksikan di siang hari, aku bisa melihat banyak perubahan yang terjadi di kampungku.Dari terminal ke rumah saja, kutemui semakin banyak sawah yang berubah menjadi perumahan mewah.Juga toko-toko di pinggir jalan yang semakin menjamur, membuat tempat kelahiranku itu semakin ramai.Baguslah, kataku dalam hati, ini mungkin berarti kampungku semakin berkembang.Semakin sejahtera seperti yang aku pinta dalam setiap doaku.

Tak banyak aktivitas yang aku lakukan di hari pertama.Selain masih lelah, aku masih ingin menuntaskan kerinduan pada ibu, rumah, masakan ibu dan segala hal yang ada di sekitar rumah.Inilah yang tidak aku jumpai di perantauan, yang membuatku selalu ingin pulang.Lingkungan sederhana, yang masih belum bisa digantikan oleh kesenangan yang disajikan kota tempatku mencari nafkah.Hal lain yang biasa aku lakukan kala pulang kampung adalah berkunjung ke saudara tua dari ibu atau almarhum bapak, atau saudara kakek atau nenek yang alhamdulillah masih segar bugar.Ini aku lakukan , demi untuk memelihara sopan santun,menyambung silaturahim, memperpanjang usia dan memperluas rejeki.Yang tak kalah penting, doa barokah dari mereka.Kata ibu, mereka juga orang tuaku.

Hari berikut, saatnya keluar rumah. Dengan sepeda motor tua peninggalan almarhum bapak, aku berboncengan dengan ibu menuju sawah.Inilah ‘bank’ yang dimiliki kedua orang tuaku untuk membiayai kuliahku dan adik-adik.Almarhum bapak adalah seorang guru SD, dan ibu seorang ibu rumah tangga.Tanpa bantuan petak-petak sawah ini, mungkin aku akan kesulitan menyelesaikan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.Selain itu, pergi ke sawah adalah kegiatan cuci mata yang sebenar-benarnya bagiku.Memandang hijaunya tanaman di sawah membuat mata segar.Juga mendengarkan gemericik air sungai di tepi sawah, sambil menikmati hembusan angin adalah metode penyembuhan lelah yang alami.Angan-angan melayang, membayangkan jika tumbuh-tumbuhan itu sampai saatnya dituai.Pundi-pundi orang tuaku akan terisi lagi, sebelum akhirnya dikuras oleh biaya pendidikan anak-anak.Terima kasih ya Allah, engkau telah menyeimbangkan pengeluaran dan pemasukan kami.

Melalui jalan berbatu, perjalanan dilanjutkan ke Desa Karangbuntet, desa yang berseberangan dengan lokasi ‘bank’ orangtuaku, untuk berkunjung ke kerabat almarhum bapak.Mataku dibuatterbelalak oleh keadaan desa ini.Sungguh aku tidak percaya dengan pemandangan yang kulihat dengan mataku sendiri.Semakin aku masuk ke desa, justru semakin banyak rumah-rumah megah kutemui.Tidak seperti rumah desa pada umumnya, rumah-rumah megah itu berpagar besi kokoh sekali.

Dari cerita yang sering kudengar dari mulut kerabatku, penduduk di desa ini sulit mencari uang.Bekerja seharian di sawah sebagai buruh tanam, hanya mendapat upah Rp. 15.000 plus makan siang.Itupun hanya musiman.Selain waktu tanam, tenaga borongan akan diperlukan lagi waktu panen.Di luar kedua waktu itu, hanya tinggal menunggu panggilan dari orang yang memerlukan tenaga untuk membantu pekerjaan yang tidak jauh-jauh amat lokasinya dari sawah.Tulang seperti benar-benar terbanting.Tidak seimbang dengan upah yang diterimanya, karena uang sebanyak itu akan segera menguap jika ditukarkan dengan bahan makan sehari-hari.Untuk biaya hidup besok, mereka harus memeras tenaga lagi.

Tapi hal ini sungguh sangat bertolak belakang dengan pemandangan yang kulihat.Mana mungkin penduduk desa ini dikatakan kesulitan mencari nafkah, jika melihat deretan rumah-rumah yang berdiri megah mulai dari jalan desa sampai masuk ke gang.Begitu pula rumah kerabatku dikelilingi rumah-rumah megah.Satu di sebelah kanan rumah, dan dua lainnya di depan.Tak terpikirkan olehku, berapa tahun waktu yang aku perlukan untuk bisa membangun rumah seperti yang tampak di depan mataku, dengan pekerjaan yang sekarang aku tekuni.

Setelah menunggu beberapa menit, dengan masih berbalut handuk,tuan rumah mempersilahkan kami masuk.Rupanya dia baru saja selesai mandi.

“Di mana kamar mandinya?”

Mataku mengikuti arah telunjuknya. Walau tidak tahu yang mana yang disebut kamar mandi, aku manggut-manggut saja. Satu kamar mandi, dipakai oleh beberapa keluarga yang terhitung masih famili.

“Di sini membuat sumur sulit sekali.Tanahnya cadas, jadi kalau menggali sumur perlu sekian puluh meter, baru keluar air.Kadang-kadang, kalau tidak tepat mencari lokasi sumur, walau sudah digali, air tetap tidak keluar.Itu sebabnya, kami memakai satu sumur untuk beberapa keluarga”.

Penjelasan si empunya rumah mengingatkanku pada satu slogan iklan di TV, hemat babe...

Rumah kerabatku bisa dikatakan setengah jadi.Dinding belum dikuliti, lantainya pun masih plesteran semen.Perabotan juga seadanya.menjadikanrumah terasa lapang.Atau memang sebenarnya rumah ini luas sekali?.Di kota, mencari tanah kavling seluas ini tidak mudah.Kalaupun ada, perlu uang berkarung-karung untuk membeli tanahnya saja.Pada umumnya di desa, lahan yang dipakai untuk mendirikan rumah adalah tanah warisan orang tua yang dibagi berdasarkan jumlah anak.Maka tak heran jika satu keturunan keluarga, rumah-rumahnya akan berdampingan.Mulai dari anak pertama, kedua dan seterusnya.

Di ruang tamu, ada setumpuk karung yang kelihatannya bersisi gabah.Beberapa butir berceceran dibawahnya, membuatku yakin isi karung-karung itu adalah gabah.

“Itu upah dari panen musim ini.Lumayan, sudah lebih dari cukup untuk makan sehari-hari sampai musim panen berikutnya.Jadi tidak perlu membeli beras.Selep beras pun tinggal menunggu selep keliling”, sang tuan rumah menjelaskan, mengetahui aku mengamati tumpukan karung itu.Oh ya, kalau musim panen, upah buruh panen bukan berupa uang, tetapi gabah, yang dibagi berdasarkan prosentase hasil panen antara pemilik sawah dengan buruh panen.

Dari Mbak Siti, kerabatku inilah, akhirnya aku tahu, bagaimana rumah-rumah mewah itu dibangun. Ternyata mereka tidak dibangun dengan rupiah.Tetapi dengan Dollar Singapura, Dollar Hongkong, Ringgit Malaysia, Won Korea atau Riyal Saudi Arabia.Banyak penduduk usia muda di desa ini bekerja sebagai pahlawan devisa di luar negeri.Bertahun-tahun mereka meninggalkan kampung halaman, meninggalkan keluarga.Hanya uang mereka yang rutin datang.Dengan uang itulah mereka merubah wajah desa dengan membangun rumah megah.

“Kalau membangun rumah hanya dengan mengandalkan bekerja di sini, jadinya seperti rumahku ini”.

Aku paham maksudnya.Sudah sekian tahun rumah itu tetap seperti kondisinya yang sekarang.Konon ia sempat tergoda untuk ikut bekerja di luar negeri.Tapi mengingat keluarga, ia mengurungkan niat, dan tetap bekerja sebagaimana penduduk desa lain.

Aku bisa mengerti, jika banyak orang memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI).Lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri sangat sempit.Para sarjana banyak yang kesulitan mencari lapangan kerja.Banyak lembaga pendidikan yang mencetak tenaga kerja, tapi sangat sedikit yang bisa mencetak lapangan kerja. Apalagi dengan pendidikan seperti penduduk desa ini, selain bekerja di sawah, tidak ada lagi yang bisa dikerjakan.Sawahpun kadang bukan milik mereka.Mereka hanya bekerja sebagai petani penggarap.

Dengan segala risiko, mereka berangkat kerja ke luar negeri.Para suami meninggalkan anak istri, para istri meninggalkan suamidan anak.Bahkan ada pasangan suami istri BMI yang harus terpisah karena bekerja di negara yang berbeda. Padahal di negeri orang nasib juga belum pasti.Masih beruntung, rata-rata orang desa ini tidak terkena masalah seperti yang sering aku lihat di layar TV, yang tidak menerima bayaran dari majikan setelah sekian lama bekerja, bahkan menerima siksaan sampai ada yang meninggal.Terbukti, mereka betah bekerja sekian tahun di luar negeri.Bisa membangun rumah megah, mengirim uang yang jumlahnya ratusan juta rupiah.Sekali mereka pulang, tidak lama kemudian kembali lagi ke luar negeri.

Yang belum aku mengerti, kenapa harus rumah yang mereka bangun sampai semegah itu?Kenapa mereka tidak memilih mengumpulkan modal untuk bisa bekerja secara mandiri di negeri sendiri setelah mereka habis kontrak sebagai BMI?.Di berbagai media sudah banyak kisah mantan BMI yang sukses setelah kembali ke tanah air.Dari uang yang didapat selama bekerja di luar negeri dikumpulkan untuk kuliah, dan kemudian menjadi guru.Ada lagi yang sukses beternak.Bahkan ada yang bisa mendirikan taman bacaan di kampung asal, dan membantu anak-anak yang kurang beruntung yang tidak bisa sekolah.Di desa ini rata-rata hasil kerja para BMI diwujudkan dengan membangun rumah yang megah.Uang kiriman dari luar negeri dalam beberapa saat mengubah rumah ‘desa’ mereka menjadi rumah megah.Tapi ketika kontrak kerja habis, mereka pulang hanya untuk memperbarui ijin kerja di luar negeri lagi.Lantas, kapan mereka bisa menikmati rumah megahnya?Atau memang bekerja di luar negeri sebagai BMI begitu menyenangkankah?Pekerjaan tidak terlalu berat dengan gaji yang tinggi, sehingga mereka ingin terus kembali kerja ke luar negeri.Tapi sampai kapan?Tidakkah mereka ingin tinggal bersama anak istri/suami di rumah, dan bekerja sebagai majikan untuk dirinya sendiri?Untuk sekali waktu kontrak kerja sebagai BMI, mereka harus meninggalkan keluarga lebih dari setahun.Sudah selayaknya mereka mengganti waktu yang telah mereka tinggalkan untuk kerja di luar dengan lebih sering berkumpul dengan keluarga.Bagaimana cara mengubah kebiasaan seperti ini dengan kebiasaan baru yang lebih menguntungkan bagi para mantan BMI di desa ini?.Agar pola pikir merekaberubah sehinggauang hasil kerjanya ditabung, dan di kemudian hari mewujudkannya menjadi modal kerja, agar mereka tidak perlu kembali lagi ke luar negeri sebagai BMI. Sekaligus membuka lapngan kerja baru bagi warga setempat.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi kepalaku.Dan mungkin ibuku melihat perubahan raut wajahku.

“Tidak semuanya seperti itu.Mungkin di desa ini kebanyakan rumah yang mereka utamakan.Kalau kamu masih ingat Pak Sadi, orang yang dulu mengerjakan sawah kita, dia adalah contoh orang yang berhasil mengelola kekayaan anak-anaknya yang kesemuanya mantan BMI.Masing-masing uang hasil kerja anaknya disimpan dalam rekening sendiri.Ketika terkumpul banyak, dibelikan sawah untuk kemudian diolah setelah si anak pulang.Yang lain dibelikan truk, untuk disewakan, dan bahkan truknya kini sudah bertambah.Anak ketiga, selain dibelikan sawah, masih ditambah dengan hand tractor, yang bisa disewakan untuk membajak sawah.Pak Sadi melihat kemampuan masing-masing anaknya.Dan modal yang disarankan disesuaikan pula dengan kemampuan anak-anak.Itu orang tua yang bijaksana, dan beruntung anak-anaknya juga penurut.Selain itu ada Bu Marinem, yang menggeluti usaha jual beli gabah.Itu adalah mantan BMI juga.Modalnya didapat dari bekerja di Saudi Arabia selama beberapa tahun.Setelah pulang, dia mencoba usaha jual beli hasil pertanian.Dan ia berhasil.”,cerita ibuku sepanjang perjalanan pulang.

Aku hanya bisa berharap, mudah-mudahan ada yang menularkan kebiasaan baik ini ke Desa Karangbuntet.Siapapun itu.Atau mungkin ada di antara mantan BMI sendiri yang memiliki inisiatif untuk merubah kebiasaan yang selama ini berjalan di Desa Karangbuntet.Agar saudara-saudaraku tidak terus dan terus bekerja di luar negeri sebagai BMI.

Aku tutup buku catatanku, dan akan kubawa ke kota tempat aku bekerja sebagai oleh-oleh perjalanan pulang kampung.Semoga, di waktu pulang kampung berikutnya, aku akan menjumpai lebih banyak perubahan positif di kampungku.

by: Reno

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun