Hah??!!?! Jadi, selama ini berkutat dengan HP itu karena dia sedang berusaha mengubah statusnya di facebook bukan karena sedang SMS? Selesai Misa, gadis itu tersenyum panjang sebab up date status FB-nya bisa terlaksana. (tidakkah ini semacam tanda supaya dia tidak melakukan hal itu selama di misa?)Well. Saya nggak bisa komentar banyak lagi. Cuman bisa menepuk-nepuk bahu gadis di sebelah saya itu.
Di dunia yang serba canggih dan (katanya) membuat kemudahan pekerjaan banyak orang ini, nampak semakin absurd bentuk atau kondisi boleh atau tidaknya sesuatu yang kita kerjakan pada suatu waktu atau tempat.
Saya ingat dulu, ibu alm nggak memperbolehkan saya keluar rumah dengan bercelana pendek apalagi menerima tamu. Harus ganti dengan baju yang lebih sopan. Tapi, sekarang bercelana pendek ke gereja pun rasanya semua orang idem saja. Jika bertamu, pukul 20 beberapa waktu lalu dianggap terlalu malam. Waktunya orang beristirahat dan berkumpul dengan keluarga.
Sekarang? Pukul 22 juga masih boleh karena kebanyakan orang baru sampai di rumah pukul 21. Lalu, waktu beristirahat dan untuk keluarga? Ya bisa jadi, disambi diantara itu. Cuman... Apakah hal-hal seperti itu juga menjadi permakluman untuk yang berhubungan dengan waktu khusus di rumah Tuhan?Â
Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup memang tidak bisa kita singkirkan begitu saja. Malah kita diberi akal dan budi supaya terlaksanalah kewajiban itu.
 Tak bisa disalahkan juga makin hari, kebutuhan hidup semakin bertambah. Harus bekerja keras supaya semua itu bisa terpenuhi. Tapi, dari 724 jam = 168 jam kita diberi untuk menggapai banyak cita itu, Tuhan hanya meminta sekitar 1 jam saja untuk sekadar menyapa dan berterima kasih padaNya, "Tuhan, apa kabar hari ini? Terima kasih untuk selalu menyertaiku ya...." Tak salah bukan menyapaNya sebab Ia selalu menyapa kita setiap saat? Bahkan mungkin bercakap-cakap denganNya. 1 jam saja. Tidak sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Setelah itu, boleh lah kita tenggelam dalam kesibukan atau kesenangan kita lagi.Â
Dari yang hanya 60 menit itu, apakah harus "didiskon" lagi untuk memenuhi hasrat ber-FB dan atau bertelpon, entah untuk urusan apa pun? Apakah kepentingan duniawi lebih penting dari sekadar bertemu yang memberi hidup untuk memenuhi kepentingan itu? Atau memang FB lebih menarik dari kotbah Pastor?Â
Seorang adik damping yang saya curhati tentang hal ini berkomentar, "Tuhan telah mati. Facebooklah yang membunuhnya".Â
Benarkah? (anj 19)