Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan Telah Mati, Facebooklah yang Membunuhnya (2009 - 2019)

26 Juni 2019   08:51 Diperbarui: 26 Juni 2019   09:07 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari https://static.independent.co.uk

Saya pernah menuliskan ini tanggal 26 April 2009 di sebuah milis (grup email) pada masa itu lalu menyebar, alias viral. Masih cukup relevan pada masa kini sebab inti dari tulisan ini sama kita hadapi, setelah 10 tahun tulisan ini dibuat.

Terima kasih buat Ratna Ariani yang masih menyimpan tulisan ini. 

Saya tergelitik menuliskan ini setelah menghadiri sebuah Perayaan Ekaristi di sebuah kampus. Kebetulan Misanya sedikit telat dimulai. Tapi, di sebelah saya begitu Misa dimulai dia sudah sibuk dengan HP-nya. Saya pikir dia sedang ber-SMS. Karena hingga Misa dimulai dia masih bersibuk juga, sempat saya tegur, "Sibuk, Bu?". Dia hanya menyeringai. Hingga pertengahan Misa, dia masih berkutat dengan HP-nya. 

Sejujurnya saya sedikit risih. Tapi, mau gimana lagi? Sudah ditegur, masih begitu juga. Sampai ketika menjelang persembahan, saya mendengar sebuah bunyi ring telepon. Saya pikir dari HP yang di sebelah saya itu.

Ternyata, beberapa bangku setelah dia, seorang ibu-ibu berdandan rapi dan cantik tengah mengangkat teleponnya. Nampaknya ia tidak berusaha menerangkan atau menyudahi pembicaraan karena ia sedang mengikuti Misa. 

Itu terlihat dari gerak tubuh dan waktu sekian menit ia bertelpon. Kali ini saya dan gadis muda yang juga masih sibuk dengan HP-nya saling berpandangan. 

Kami sama-sama tahu, bahwa kami terganggu dengan kondisi ini. Saya lebih nggak bisa apa-apa lagi selain berharap pembicaraan ibu itu cepat selesai. Suara sang ibu cukup terdengar sampai ke tempat duduk saya yang sederet dengannya. Dari tampilan dan letak duduk kami, saya menduga dia adalah salah satu dosen dari kampus itu. 

Ah, saya jadi makin geleng-geleng kepala saja. Setelah Bu Dosen itu menyelesaikan pembicaraannya, perhatian saya kembali kepada gadis muda yang duduk di sebelah saya. Dia masih tetap saja berkutat dengan HP-nya.

Hingga akhirnya dia menahan kesal dan berujar pelan, "Susah amat sih mau up date status di facebok? Daritadi mental terus". 

Hah??!!?! Jadi, selama ini berkutat dengan HP itu karena dia sedang berusaha mengubah statusnya di facebook bukan karena sedang SMS? Selesai Misa, gadis itu tersenyum panjang sebab up date status FB-nya bisa terlaksana. (tidakkah ini semacam tanda supaya dia tidak melakukan hal itu selama di misa?)Well. Saya nggak bisa komentar banyak lagi. Cuman bisa menepuk-nepuk bahu gadis di sebelah saya itu.

Di dunia yang serba canggih dan (katanya) membuat kemudahan pekerjaan banyak orang ini, nampak semakin absurd bentuk atau kondisi boleh atau tidaknya sesuatu yang kita kerjakan pada suatu waktu atau tempat.

Saya ingat dulu, ibu alm nggak memperbolehkan saya keluar rumah dengan bercelana pendek apalagi menerima tamu. Harus ganti dengan baju yang lebih sopan. Tapi, sekarang bercelana pendek ke gereja pun rasanya semua orang idem saja. Jika bertamu, pukul 20 beberapa waktu lalu dianggap terlalu malam. Waktunya orang beristirahat dan berkumpul dengan keluarga.

Sekarang? Pukul 22 juga masih boleh karena kebanyakan orang baru sampai di rumah pukul 21. Lalu, waktu beristirahat dan untuk keluarga? Ya bisa jadi, disambi diantara itu. Cuman... Apakah hal-hal seperti itu juga menjadi permakluman untuk yang berhubungan dengan waktu khusus di rumah Tuhan? 

Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup memang tidak bisa kita singkirkan begitu saja. Malah kita diberi akal dan budi supaya terlaksanalah kewajiban itu.

 Tak bisa disalahkan juga makin hari, kebutuhan hidup semakin bertambah. Harus bekerja keras supaya semua itu bisa terpenuhi. Tapi, dari 724 jam = 168 jam kita diberi untuk menggapai banyak cita itu, Tuhan hanya meminta sekitar 1 jam saja untuk sekadar menyapa dan berterima kasih padaNya, "Tuhan, apa kabar hari ini? Terima kasih untuk selalu menyertaiku ya...." Tak salah bukan menyapaNya sebab Ia selalu menyapa kita setiap saat? Bahkan mungkin bercakap-cakap denganNya. 1 jam saja. Tidak sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Setelah itu, boleh lah kita tenggelam dalam kesibukan atau kesenangan kita lagi. 

Dari yang hanya 60 menit itu, apakah harus "didiskon" lagi untuk memenuhi hasrat ber-FB dan atau bertelpon, entah untuk urusan apa pun? Apakah kepentingan duniawi lebih penting dari sekadar bertemu yang memberi hidup untuk memenuhi kepentingan itu? Atau memang FB lebih menarik dari kotbah Pastor? 

Seorang adik damping yang saya curhati tentang hal ini berkomentar, "Tuhan telah mati. Facebooklah yang membunuhnya". 

Benarkah? (anj 19)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun