Saya pernah menuliskan ini tanggal 26 April 2009 di sebuah milis (grup email) pada masa itu lalu menyebar, alias viral. Masih cukup relevan pada masa kini sebab inti dari tulisan ini sama kita hadapi, setelah 10 tahun tulisan ini dibuat.
Terima kasih buat Ratna Ariani yang masih menyimpan tulisan ini.Â
Saya tergelitik menuliskan ini setelah menghadiri sebuah Perayaan Ekaristi di sebuah kampus. Kebetulan Misanya sedikit telat dimulai. Tapi, di sebelah saya begitu Misa dimulai dia sudah sibuk dengan HP-nya. Saya pikir dia sedang ber-SMS. Karena hingga Misa dimulai dia masih bersibuk juga, sempat saya tegur, "Sibuk, Bu?". Dia hanya menyeringai. Hingga pertengahan Misa, dia masih berkutat dengan HP-nya.Â
Sejujurnya saya sedikit risih. Tapi, mau gimana lagi? Sudah ditegur, masih begitu juga. Sampai ketika menjelang persembahan, saya mendengar sebuah bunyi ring telepon. Saya pikir dari HP yang di sebelah saya itu.
Ternyata, beberapa bangku setelah dia, seorang ibu-ibu berdandan rapi dan cantik tengah mengangkat teleponnya. Nampaknya ia tidak berusaha menerangkan atau menyudahi pembicaraan karena ia sedang mengikuti Misa.Â
Itu terlihat dari gerak tubuh dan waktu sekian menit ia bertelpon. Kali ini saya dan gadis muda yang juga masih sibuk dengan HP-nya saling berpandangan.Â
Kami sama-sama tahu, bahwa kami terganggu dengan kondisi ini. Saya lebih nggak bisa apa-apa lagi selain berharap pembicaraan ibu itu cepat selesai. Suara sang ibu cukup terdengar sampai ke tempat duduk saya yang sederet dengannya. Dari tampilan dan letak duduk kami, saya menduga dia adalah salah satu dosen dari kampus itu.Â
Ah, saya jadi makin geleng-geleng kepala saja. Setelah Bu Dosen itu menyelesaikan pembicaraannya, perhatian saya kembali kepada gadis muda yang duduk di sebelah saya. Dia masih tetap saja berkutat dengan HP-nya.
Hingga akhirnya dia menahan kesal dan berujar pelan, "Susah amat sih mau up date status di facebok? Daritadi mental terus".Â