Mohon tunggu...
Reni DwiAnggraini
Reni DwiAnggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan Jurnalis Mahasiswa

Hanya seorang Ibu Rumah Tangga yang masih suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tak Ingin Ambyar di Era New Normal, Jangan Lakukan Hal Ini

25 Juni 2020   12:20 Diperbarui: 25 Juni 2020   12:24 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New Normal atau tatanan kehidupan baru mulai diterapkan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Sudah tidak ada lagi pembatasan sosial  berskala besar(PSBB) maupun pembatasan aktivitas ekonomi. Namun masyarakat dihimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dari pemerintah, yakni tetap menjaga jarak agar meminimalisir penyebaran Covid-19.

Krisis kesehatan membuat banyak orang berlomba-lomba untuk menimbun barang seperti bahan-bahan makanan,  minuman kemasan, obat-obatan tertentu, bahkan masker. Coba sebutkan barang apa saja yang sudah anda timbun? Padahal tanpa disadari perilaku tersebut bisa menimbulkan dampak yang saling berkaitan satu sama lain. Atau justru membawa anda semakin dalam terperosok jurang kepailitan. Karena apa? Selain menguras isi dompet anda, kegiatan menimbun bisa menyebabkan kelangkaan barang tersebut, akibatnya terjadilah kelonjakan harga dimana-mana.

Naiknya harga barang yang tidak terkendali akan menimbulkan inflasi dan kepanikan masal, sehingga semakin menambah kecemasan. Jika pikiran cemas daya tahan tubuh akan menurun, sehingga anda akan semakin rentan terpapar Covid-19. Jangan menyebarkan berita hoaks di media sosial,  hal itu juga akan menimbulkan kepanikan dan kecemasan yang berlebihan. Daripada anda harus berurusan dengan hukum, lebih baik anda memanfaatkan media sosial untuk berjualan secara online atau media promosi bisnis terbaru. Hal itu  akan berdampak positif bagi pertumbuhan perekonomian nasional.

Noventa Hanani Erizchanura (2015), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Dampak Kebijakan Moneter, Inflasi, Dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia menyatakan bahwa, BI rate dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan positif terhadap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Artinya perekonomian yang tumbuh negatif akan menggangu SSK. Lalu sebenarnya apa sih SSK itu? Menurut otoritas jasa keuangan (OJK) SSK merupakan suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Lalu seberapa pentingkah SSK itu? SSK memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Sebagai bagian dari sistem perekonomian, sistem keuangan berfungsi untuk mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menimbulkan krisis keuangan dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Kita perlu belajar pada sejarah, kata Bung Karno Jasmerah(Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Saat Terjadi krisis keuangan tahun 1998, diperlukan waktu  yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Krisis ini  membuktikan bahwa SSK merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan.

Sistem keuangan yang tidak stabil cenderung rentan terhadap berbagai gejolak sehingga mengganggu perputaran roda perekonomian nasional. Selain itu, dibutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional. Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan? Jawabannya tentu saja kita semua memiliki tanggung jawab yang sama besar, meskipun sudah menjadi tugas pokok Bank Indonesia(BI).

Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh BI dalam menjaga SSK, diantaranya dengan melakukan kebijakan Makroprudensialnya. Kebijakan ini berfungsi untuk mengawasi lalulintas keuangan secara keseluruhan supaya tetap berjalan teratur. Jika pertumbuhan ekonomi, kredit, atau pembiayaan terlalu tinggi, maka perlu direm dengan menaikkan porsi uang muka kredit atau dalam bahasa perbankan disebut dengan menaikkan rasio Loan To Value(LTV) sehingga permintaan kredit akan melambat. Begitu pula sebaliknya BI akan menurunkan rasio LTV jika permintaan kredit seret, sehingga permintaan kredit kembali lancar.

Baru-baru ini  BI telah melaksanakan kebijakan makroprudensialnya, dalam siaran persnya, Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,25%, Hal ini akan mendorong masyarakat untuk lebih yakin saat mengambil kredit jangka panjang karena tidak perlu khawatir lagi akan suku bunga fluktuatif yang bisa sangat berpengaruh pada cicilan bulanan.

Banyak masyarakat yang masih enggan mengambil pinjaman pribadi maupun kredit pembelian barang dengan harga tinggi seperti kendaraan atau properti. Selain BI7DRR, BI juga menurunkan suku bunga penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia, atau dalam bahasa perbankannya disebut Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,50%, dan suku bunga Lending Facility ( Penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank) sebesar 25 bps menjadi 5,00%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun