Â
Gereja tidak menyetujui bunuh diri. Sikap Gereja ini didasarkan pada ajaran Kitab Suci. Baik secara langsung atau tidak langsung, bunuh diri tak dapat diterima karena tindakan peniadaan hidup bertolak belakang dengan kehendak Sang Pencipta.ÂSelaku pemilik hidup, hanya Allah yang berhak penuh atas hidup (Ul 32:39; Kel 16:3). Manusia lebih tepat disebut administrator hidup bukan pemilik atau penentu hidup.
Allah hanyalah satu-satunya yang boleh memutuskan waktu seseorang akan meninggal, Â seperti diungkapkan dalam Mazmur 31:15, "Masa hidupku ada dalam tangan-Mu." Allah adalah pemberi kehidupan. Ia memberi, dan Ia mengambilnya kembali (Ay 1:21). Bunuh diri, bentuk pembunuhan kepada diri sendiri, menjadi tindakan durhaka, karena hal itu menjadi bentuk penolakan manusia atas karunia kehidupan dari Allah.
Kitab Suci mencatat beberapa tokoh yang mengalami keputusasaan. Salomo, sambil mengejar segala kenikmatan hidup, mencapai suatu titik dimana ia "membenci hidup" (Pengkh 2:17).Â
Elia sangat takut hingga mengalami depresi dan merindukan kematian (1Raj 19:4). Yunus juga begitu marah dengan Allah sampai ia berharap mati (Yun 4:8). Rasul Paulus dan para rekan misionarisnya sampai pernah berkata, "beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami" (2 Korintus 1:8). Akan tetapi, dari semua tokoh itu, tidak ada yang bunuh diri.
Salomo belajar "takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang" (Pengkhotbah 12:13). Elia dihibur oleh malaikat, diperbolehkan beristirahat, dan diberi sebuah amanat baru.Â
Yunus dikoreksi dan diberi pelajaran dari Allah. Paulus belajar bahwa, walaupun beban yang ia hadapi melampaui kemampuan dirinya menanggungnya, Allah dapat membantu menanggung segala hal: "Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati" (2 Korintus 1:9).
Berikutnya, dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2280-2282 disebutkan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Hal ini hendak menandaskan bahwa manusia hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan; dan Allah mempercayakannya itu kepada manusia. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya.Â
Perbuatan bunuh diri juga bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan.Â
Perbuatan seseorang menghilangkan nyawanya adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar dan cinta kepada sesama sebab dengan melakukannya ia merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, bangsa dan umat manusia, yang kepada mereka ia selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup.
Secara prinsip, bunuh diri merupakan pelanggaran berat terhadap keadilan, harapan dan cinta kasih (lih. KGK, 2325).Â