Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keris Pusaka dalam Budaya Jawa (Part 2)

19 Oktober 2021   10:30 Diperbarui: 19 Oktober 2021   10:31 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keris Pusaka Raja (boombastis.com)

3. Keris sebagai Simbol Kesatuan Raja-Rakyat[6]

Raja dalam masyarakat Jawa adalah orang yang memiliki kekuasaan. Raja merupakan pusat mikrokosmos kerajaan dan duduk di puncak hierarki status. Orang jawa percaya bahwa raja adalah satu-satunya medium yang menghubungkan dunia mikrokosmos dengan dunia makrokosmos. Raja dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis yang melekat pada benda-benda suci yang dimilikinya. Rakyat sangat menghormati dan mengangungkan raja karena dialah penguasa mereka. Sebaliknya, raja juga memiliki kewajiban untuk membawa rakyat ke dalam situasi yang aman dan damai sejahtera. Untuk itulah raja dan rakyat harus menjalin hubungan yang akrap dan menciptakan kesatuan.

Kesatuan raja dan rakyat dilukiskan dengan suatu konsep Jumbuhing kawula-gusti (kesatuan hamba-tuan). Konsep tersebut berawal dari para penganut mistik kebatinan yang hidup di kalangan orang Jawa. Mistik kebatinan memang dianggap wadi (rahasia) dan hanya diperoleh oleh segelintir orang, namun mistik kebatinan ini sangat terkenal di segala lapisan masyarakat. Dari sudut pandang aliran mistik kebatinan, konsep jumbuhing kawula-Gusti pada dasarnya menggambarkan tujuan tertinggi hidup manusia, yaitu mencapai "kesatuan" akhir yang sesungguhnya dengan Tuhan (manunggal). Persatuan antara manusia dengan Tuhan hanya mungkin terjadi apabila ada ikatan-ikatan tertentu atau ada sifat manusia yang secitra dengan Tuhan. Menurut orang Jawa sifat yang sama ini terletak pada hakikat yang paling dalam dari Tuhan dan manusia yang diungkapkan dengan kata sukma. 

Konsep jumbuhing kawula-gusti dalam dimensi sosial-psikologis lebih menunjukkan hubungan saling ketergantungan yang erat antara dua hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Dalam masyarakat Jawa status yang tertinggi terletak pada raja dan status yang lebih rendah adalah rakyat. Raja dan rakyat berbeda satu dengan yang lain, baik dalam fungsi maupun tugasnya, namun keduanya harus menjalin kesatuan untuk mewujudkan keselarasan dan kesejahteraan. Seorang raja harus memberikan sesuatu yang bermakna bagi rakyatnya. Raja (penguasa) seharusnya tidak bertindak sewenang-wenangnya. Tidak dikuasai nafsu dan pamrih karena apabila tidak berlaku demikian kekuasaanya akan surut atau lenyap. Keadilan dan kemakmuran diharapkan mengalir dari atas, yaitu dari pemimpin kepada seluruh warga. Demikian juga rakyat harus menghormati pemimpin dan bertanggung jawab atas segala tugas yang mereka emban. Raja disebut pamong dan rakyat sebagai momongan. Raja memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk menjaga, mengasuh, membimbing, dan menciptakan situasi yang aman dan damai bagi masyarakatnya. Demikian juga rakyat, sebagai orang yang diperintah, harus mengabdi dengan penuh kesetiaan. Pengabdian rakyat kepada rajanya diperkokoh dengan keyakinan bahwa takdir atau nasib telah menentukan tempat yang layak baginya dalam hierarki sosial.

Jumbuhing kawula-gusti dalam situasi dimensi sosial-psikologis, yaitu antara raja dan rakyat yang disimbolkan dalam keris. Kesatuan antara bilah dan warangka mempunyai makan simbolik sebagai kesatuan antara raja dan rakyat. Kedua bagian keris bilah dan warangka, secara mestik melukiskan hubungan saling ketergantungan. Warangka melindungi bilah agar tidak rusak atau tidak membahayakan; sebaliknya bilah melindungi warangka agar tidak hilang atau dicuri. Bilah keris menyimbolkan raja sebagai bagian inti, pokok, dan sebagai pusat kekuatan yang memimpin kerajaan. Bilah keris harus sesuai dengan pola keris atau memiliki dapur keris sehingga keris tersebut memiliki identitas. Demikian juga raja, yang disimbolkan dengan bilah, harus layak dan sesuai dengan patokan bagi rakyat (warangka).

4. Keris sebagai simbol Kesatuan Manusia dengan Tuhan

Totalitas diri manusia seharusnya terarah pada tujuan hidupnya yang terakhir. Seluruh kedirian manusia ditujukan pada makna akhir hidupnya, yakni kesesuaian hidup manusia dengan tujuan akhir yang paling menentukan. Secara umum orang jawa berpandangan bahwa manusia sesungguhnya memiliki satu tujuan dan makna dalam hidupnya, yaitu manuggal (bersatu) dengan Tuhan. Upaya manusia untuk mengusahakan keselarasan dan kesatuan dengan sesama dan kosmos merupakan bagian dari keinginan manusia untuk manunggal (bersatu) dengan Tuhan. Perjalanan hidup manusia diarahkan pada pencaharian asal-usul hidupnya, menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, dan akhirnya bersatu dengan-Nya secara penuh. Perjalanan hidup manusia sampai pada manunggal kawula-Gusti secara simbolik dapat dicermati dalam keris. Masing-masing unsur keris menggambarkan usaha manusia untuk bersatu dengan Tuhan.

Manusia memiliki kesadaran sehingga ia mampu memahami eksistensinya sebagai manusia. Dalam usaha menuju kesatuan dengan Tuhan, manusia harus memberikan sumbangan yang berguna dalam kehidupan bersama yakni  mempunyai pengaruh positif dalam kehidupannya secara pribadi dan bersama.

Perjalanan manusia menuju persatuan dengan Tuhan ini secara simbolis digambarkan dengan pembuatan keris secara ritual oleh sang empu keris. Empu keris adalah orang yang memiliki kemampuan tertentu untuk menghasilkan keris pusaka yang diyakini mengandung kekuatan-kekuatan magis. Keampuhan kekuatan magis yang terdapat dalam keris tergantung dari daya kesaktian sang empu keris.[7] Dalam kehidupan sosial masyarakat jawa, empu adalah orang yang mampu berelasi dengan kekuatan-kekuatan adimanusiawi sehingga mereka dihormati dalam masyarakat.

Seorang empu keris yang bernama Empu Jeno Harumbrojo menuturkan bahwa ketika ia hendak membuat keris tayuhan, ia harus memusatkan seluruh dirinya kepada Yang Maha Agung. Ia akan melakukan tapa dan menjalin relasi yang intim dengan Yang Maha Agung. Hal ini dilakukan agar permohonannya kepada Yang Maha Agung, yaitu kekuatan keris dapat dikabulkan.[8] Usaha yang dilakukan oleh sang empu dalam pembuatan keris adalah menjalankan aneka latihan diri seperti bertapa, puasa, berdoa, pantang seks, dan sebagainya. Tujuannya adalah supaya dapat bersatu dengan Tuhan dan pada akhirnya segala permohonannya dikabulkan. Hasil dari kepasrahan diri kepada Tuhan dan sikap yang hidup yang baik ialah keris pusaka yang berguna, yakni keris berisi "wahyu" dari Tuhan.[9]

Catatan Kaki

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun