Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama Adalah Proyeksi Diri Manusia Menurut Perspektif Ludwig Feuerbach

16 Oktober 2021   16:33 Diperbarui: 16 Oktober 2021   16:44 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ludwig Feuerbach (mengeja.id)

Timbulnya agama disebabkan oleh sebuah aspirasi, sebuah cita-cita.[4] Dalam bentuk sebuah aspirasi manusia dalam batinnya mengandung suatu cita-cita kesempurnaan dan kebahagiaan, yakni kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, dan perasaan keadilan. 

Corak ideal nilai-nilai ini baginya tampak dalam perbandingan yang secara intuitif dibuatnya antara kekekalan umat manusia dan batas-batas manusia sebagai individu. 

Karena ideal macam itu mengungkapkan dambaan dan cita-cita hidup manusia. Akan tetapi, karena tidak berdaya meraih cita-cita ideal itu, maka manusia berkat daya fantasi yang dimilikinya lalu menggagas adanya suatu entitas yang memiliki kekuatan untuk merealisasikan dambaan dan cita-citanya itu. 

Feuerbach mengatakan bahwa "Allah tidak lain daripada cita-cita, ideal manusia". Lalu karena dambaan itu melekat pada hakikat kemanusiaan, maka "Allah tidak lain daripada ideal hakikat manusia, namun ia dianggap sebagai hakikat yang berdiri sendiri secara riil".[5] Oleh karena itu, Allah hanya ada di dalam gagasan, dalam fantasi, namun tidak ada sama sekali dalam realitas dan kenyataan.

Bagi Feuerbach, bukan Allah yang menciptakan manusia, melainkan Allah adalah ciptaan angan-angan manusia.[6] Agama hanyalah sebuah proyeksi[7] diri manusia. 

Di dalam Allah, manusia sebenarnya memandangi hakikatnya di luar dirinya sendiri. Dalam istilah  Feuerbach sendiri, Allah adalah "Diri manusia yang terasing". Manusia yang malang tidak mengenali bahwa apa yang disembah dan diabdinya dalam rasa dan karsa ini sesungguhnya adalah hakikatnya sendiri yang dilemparkannya ke sorgaloka sebagai Allah.

 Allah, malaekat, surga, dan neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri, sehingga angan-angan manusia itu adalah hahekat manusia. 

Agama bagi Feuerbach tidak lebih daripada proyeksi hahekat manusia. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaanya sendiri. Feuerbach mau mengatakan bahwa agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaannya sendiri. 

Apa yang sebenarnya hanyalah angan-angan yang dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, maka manusia lalu merasa takut dan perlu menyembah dan menghormatinya sebagai Allah. 

Sebenarnya manusia dengan demikian menyatakan keseganan terhadap hakekatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya. Maka, agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri.[8] Itu berarti bahwa manusia menjadi hamba dari ciptaannya. 

Manusia memandang dirinya sendiri sebagai "ciptaan" dari ciptaannya. Tetapi dengan demikian manusia kehilangan sesuatu. Ia diasingkan, dialienasikan[9] dari dirinya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun