Mohon tunggu...
Rendy Hidayat
Rendy Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sastra Inggris yang gemar membaca buku Filsafat, Psikologi, Fiksi maupun Non-fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menelaah Konsep Relasi Tuan dan Budak dalam Cinta: Dialektika Hegel

8 Desember 2023   19:55 Diperbarui: 8 Desember 2023   20:13 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Cinta seringkali dipandang sebagai suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi sebagian orang. Karenanya manusia akan memberikan apapun dalam dirinya untuk mendapatkan cinta. Ketika seseorang tidak mendapatkan hasrat cinta, dia akan terpukul dan merasa ter-alienasi. Cinta sering membawa dampak positif bagi kehidupan suatu individu tapi tak bisa disangkal bahwa cinta juga sering memberikan dampak negatif. 

Dampak positif yang didapatkan semisalnya seperti lebih bersemangat untuk menjalani hari atau merasa bahagia dan mengurangi rasa cemas dalam kehidupan. Pun juga dampak negatif dari cinta adalah merasakan alienasi, kecemasan eksistensial, merasa hidup tidak bermakna, dan menjadi tidak bersemangat dalam menjalani hari. Tak ubah, dalam cinta biasanya ada relasi Tuan dan Budak yang ditanggung tiap individu---dalam pacaran misalnya.

DIALEKTIKA TUAN-BUDAK HEGEL

Dialektika Tuan dan Budak dikembangkan oleh Friedrich Hegel (1770-1831) seorang filsuf berkebangsaan Jerman yang lahir di stuttgart, Württemberg, dalam bukunya yang berjudul The Phenomenology of Spirit (1807). Di dalam bukunya Hegel hendak mencoba untuk memahami jiwa atau roh manusia dengan melihat perkembangannya di masa lampau. Hegel menegaskan bagaimana individu pada dasarnya ingin diakui oleh orang lain (Apollo, 2022). Karena secara fundamental manusia mempunyai kebutuhan yang tidak mereka sadari yaitu kebutuhan akan pengakuan. Menurut Hegel, manusia adalah makhluk yang menginginkan penguasaan sebagai tujuan hidup, manusia akan selalu berkeinginan untuk memuaskan diri sendri melalui penguasaan objek, contohnya seperti menguasai ataupun mendominasi.

Kita perlu memahami bagaimana relasi antara Tuan dan juga Budak. Tuan adalah orang yang mengatur dan memerintahkan apa yang harus dilakukan oleh si Budak. Sedankan si Budak hanya bisa mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuannya. Budak dijadikan sebagai benda; dia harus bekerja terus-menerus untuk keuntungan Tuannya. Tanpa disadari relasi ini menciptakan suatu ketergantungan. Si Tuan tidak akan bisa apa-apa jika tidak ada budaknya, sedangkan si Budak bisa menjadi sosok yang Independen karena dia mempunyai banyak keuntungan dalam dirinya seperti kemampuan untuk membuat atau menciptakan suatu barang. Sehingga, dengan ini Tuan mempunyai ketergantungan terhadap Budak. Hal inilah yang menjadi poin penting dalam dialektika Tuan-Budak Hegel, karena Tuan adalah budak dari sang Budak karena dia mempunyai ketergantungan secara hasrat.

CINTA DAN RELEVANSI TUAN-BUDAK

Dalam cinta, seperti antar pasangan, sering terlihat konsep relasi Tuan dan Budak yang dikembangkan oleh Hegel. Ketika dua orang bertemu, mereka akan melihat sebuah objek sedang berada di depan mereka. Anggaplah si pria sebagai Tuan dan si wanita sebagai Budak (ataupun sebaliknya). Ketika si wanita melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan, diketahui, ataupun hal yang mencurigakan, maka si pria otomatis akan marah, menegur, dan memaki si wanita bahkan tak jarang sampai memukul. Hal ini karena adanya ketergantungan si pria pada si wanita. 

Ketergantungan inilah yang menimbulkan efek negatif, misalnya terlalu over protektif atau posesif maupun rasa obsesi terhadap pasangan. Efek ini memperlihatkan bagaimana si wanita dianggap sebagai objek penguasaan. Si pria mendominasi dalam hubungan mereka, apapun yang si wanita ingin lakukan harus melalui persetujuan si pria. Sebagai budak yang dikekang oleh Tuannya, si wanita mau tidak mau harus mengikuti perintah dan mematuhinya.

Sejatinya, setiap manusia adalah subjek, karena dia tercipta atas dasar dirinya sendiri, bukan orang lain. Maka dari itu, penguasaan terhadap seseorang dan menganggapnya sebagai barang atau objek hanyalah nafsu belaka. Karena seorang Tuan tidak ingin kehilangan sosok Budaknya untuk memperoleh banyak keuntungan. Ketergantungan ini haruslah dihilangkan agar tidak adanya relasi kuasa Tuan-Budak, dan mencintai seseorang haruslah murni karena perasaan sayang bukan karena hasrat nafsu seksual. Mencintai apa adanya bukan mencintai karena ada apa-apanya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun