Dalam jagat politik Indonesia, kekuasaan kerap kali menjadi medan pertarungan yang tidak hanya melibatkan adu gagasan dan visi kenegaraan, tetapi juga menjadi lahan subur bagi praktik-praktik kekuasaan yang menyimpang. Fenomena politik transaksional, kooptasi lembaga negara, manipulasi hukum, serta eksploitasi sumber daya publik demi kepentingan kelompok elit, menjadi wajah kelam demokrasi yang kian nyata. Di tengah idealisme konstitusi yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum (rechtsstaat), keadilan sosial, serta kedaulatan rakyat, praktik politik kerap menjelma menjadi bentuk kekuasaan yang jahat dan korosif.
Salah satu bentuk kejahatan politik yang paling kentara adalah korupsi sistemik. Korupsi di Indonesia bukan lagi sebatas perbuatan individu, tetapi telah membentuk jejaring kekuasaan lintas sektor yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tindakan suap dalam pengadaan barang dan jasa, gratifikasi dalam proses perizinan, serta penggelapan dana publik menjadi hal yang lumrah, bahkan dianggap sebagai "aturan tak tertulis" dalam menjalankan kekuasaan. Skandal besar seperti kasus e-KTP yang menyeret pejabat legislatif hingga menteri menunjukkan bahwa kekuasaan cenderung menciptakan impunitas bagi pelakunya, selama mereka berada dalam lingkar kekuasaan yang kuat.
Teori klasik Lord Acton menyatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Teori ini secara gamblang mencerminkan realitas politik Indonesia, di mana kekuasaan yang tidak diawasi dengan ketat cenderung disalahgunakan. Dalam konteks Indonesia, kontrol terhadap kekuasaan seringkali dilemahkan oleh kooptasi terhadap lembaga pengawas seperti DPR, KPK, hingga Mahkamah Konstitusi, yang notabene seharusnya menjadi benteng terakhir integritas demokrasi.
Dalam lingkup yudikatif, kejahatan politik juga menyusup melalui kriminalisasi lawan politik. Banyak aktivis, tokoh oposisi, maupun akademisi yang bersuara kritis terhadap pemerintah, justru dibungkam melalui instrumen hukum. Pasal-pasal karet seperti UU ITE dan tuduhan makar digunakan sebagai alat represi modern yang membungkus kediktatoran dalam bingkai hukum yang sah. Ini merupakan bentuk abuse of power yang melanggar prinsip due process of law dan asas legalitas dalam hukum pidana.
Sementara itu, praktik dinasti politik juga menjadi bentuk kejahatan politik yang mengancam demokrasi partisipatif. Keluarga elit politik mewarisi kekuasaan melalui jejaring partai, birokrasi, dan modal ekonomi, sehingga menciptakan stagnasi regenerasi politik. Ini berakibat pada kemunduran kualitas kepemimpinan dan pengabaian aspirasi rakyat akar rumput. Ketika kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh meritokrasi, tetapi oleh hubungan darah dan koneksi kekuasaan, maka demokrasi kehilangan esensinya.
Teori Machiavellianisme yang digagas oleh Niccol Machiavelli dalam karya terkenalnya Il Principe (The Prince) juga relevan dalam menggambarkan strategi kekuasaan yang digunakan politisi di Indonesia. Machiavelli mengajarkan bahwa dalam politik, tujuan membenarkan cara. Para penguasa kerap menjustifikasi tindakan represif, manipulatif, bahkan destruktif demi mempertahankan kursi kekuasaan. Sayangnya, ajaran ini bukan hanya menjadi wacana historis, melainkan praktik nyata dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer.
Aspek lain yang memperparah kejahatan politik adalah lemahnya akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Badan publik seringkali menolak memberikan informasi yang menjadi hak publik dengan dalih keamanan negara atau kerahasiaan institusional. Padahal, dalam konteks negara demokratis, asas keterbukaan (openness) adalah syarat utama agar rakyat dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara.
Kejahatan politik juga termanifestasi dalam bentuk pengabaian hak asasi manusia (HAM). Penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi 1965, Talangsari, dan Trisakti, hingga kini belum menunjukkan progres yang berarti. Pemerintah kerap abai terhadap tuntutan keadilan dari para korban dan keluarga, dan memilih pendekatan rekonsiliasi sepihak tanpa proses peradilan yang sah. Hal ini bertentangan dengan prinsip non-impunitas dan prinsip universalitas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28I UUD 1945 serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dalam teori teknokrasi otoriter, kekuasaan dijalankan bukan berdasarkan kehendak rakyat, melainkan oleh elit birokrasi yang mengedepankan efisiensi administratif ketimbang partisipasi demokratis. Hal ini dapat dilihat dari keputusan-keputusan strategis pemerintah yang kerap tidak melibatkan partisipasi publik, seperti pemindahan ibu kota negara (IKN), pengesahan Omnibus Law, hingga revisi UU KPK. Kebijakan-kebijakan tersebut diproses secara cepat, minim diskusi publik, dan kerap meminggirkan suara civil society.
Solusi terhadap kejahatan politik di Indonesia tidak cukup hanya dengan reformasi kelembagaan. Diperlukan juga rekonstruksi kultur politik bangsa, pendidikan politik sejak dini, penguatan etika bernegara, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip equality before the law, due process of law, dan presumption of innocence harus dijalankan secara konsisten tanpa adanya intervensi politik.
Dalam kesimpulan, politik di Indonesia belum sepenuhnya menjadi alat untuk menciptakan kemaslahatan umum. Ia masih menjadi panggung dominasi, intrik, dan manipulasi. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat, maka rakyatlah yang dikorbankan. Diperlukan keberanian kolektif dari semua elemen masyarakat untuk membongkar dan menolak praktik kejahatan politik yang menyelinap dalam jubah demokrasi. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Thomas Jefferson, "When injustice becomes law, resistance becomes duty."