"Banyak sekali  perempuan hari ini tampak kuat, tangguh, dan mampu berdiri sendiri. Tapi tidak semua dari mereka benar-benar ingin menjadi mandiri. Ada yang dipaksa oleh keadaan. Ada yang lelah berharap pada pundak lelaki yang goyah. Dan ada yang memilih berdiri sendiri karena jatuh terlalu sering saat bersandar pada yang seharusnya menjadi penopang."
Hari ini, kita sering melihat banyak sekali perempuan yang mandiri secara finanasial, emosional, bahkan spritual. Mereka bekerja , mengurus anak, mengejar mimpi, merawat diri bahkan ada yang melakukan segalanya seolah olah mereka adalah single parent. Mereka menjadi simbol dari kekuatan, kebebasan, juga ketangguhan. Tapi pertanyaannya : apakah semua perempuan ingin menjadi seperti ini sejak awal?
Saya rasa tidak semua perempuan bermimpi untuk menjadi " superwoman". Banyak yang pada ttitik awal hidupnya ingin ditopang, ingin bertumbuh bersama pasangan, saling menjaga. Namun harapan itu sering menjadi kandas, bukan karena kurangnya usaha, tapi karena sosok lelaki yang seharusnya menjadi teman hidup sejalan justru menjadi beban, hanya  menjadi bayang-bayang dan bahkan menjadi penghalang.
Ketika Sandaran itu Goyah
Banyak hubungan yang sudah dibangun sejak muda, perempuan sering diajarkan untuk " menunggu" dan "mengikuti" laki-laki. Namun, kenyataannya, justru akhirnya merekalah yang memimpin, menanggung keluarga, dan menyelamatkan hubungan. Sebagian lelaki belum cukup dewasa secara emosional, belum matang dalam mengambil komitmen dan belum siap berbagi hidup.
Mereka tumbuh dalam budaya yang memanjakan ego maskulin dan berharap di treat like a queen yang dimana lelaki diposisikan sebagai "pemimpin" tanpa pernah diajarkan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Maka ketika realita datang seperti krisis ekonomi, tekanan keluarga juga kebutuhan emosional lelaki menjadi terpuruk dan yang berdiri justru hanya perempuan.
Mandiri Karena Terpaksa
Banyak akhirnya perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, bukan karena keingina atau ambisi tetapi karena keterpaksaan. Suami yang tidak bekerja, Ayah yang meninggalkan tanggung jawab. Pacar yang lari saat masalah datang, lelaki yang tidak mampu berdiri sendiri dan menyalahkan keadaan bahkan tidak jarang menyalahkan perempuan karena "terlalu mandiri dan kuat". Saya sebagai penulis sendiri sering sekali mendengar dari perempuan " ah, andai saja saya bisa lari kepelukannya sekarang dan mengadu betapa beratnya yang kurasakan" tetapi justru harapan itu hilang bukan  karena tidak bisa berlari dan memeluk tetapi karena merasa lelaki tidak bisa lagi diandalkan bahkan untuk menjadi pendengar yang baik.
Perempuan kuat bukan muncul karena didorong, tapi karena ditinggalkan. Mereka bukan tidak ingin bersandar, mereka hanya tak punya siapa-siapa untuk disandari.
Apakah Semua Lelaki Harus Disalahkan?
 Tentu saja tidak, tetapi saat fenomena ini terjadi berulang dan semakin meluas kita tak bisa lagi menyebutkannya dengan "kebetulan". Kita harus mulai menyadari juga mengakui bahwa sistem sosial dan budaya membentuk laki-laki yang sering kali tidak siap menjadi pasangan yang setara. Mereka tidak dibiasaan untuk hadir ketika dibutuhkan, hanya saat diinginkan.
Dan ironisnya saat perempuan mampu berdiri sendiri tanpa mereka, lelaki akan menyebut mereka sebagai perempuan "sombong, "tidak butuh laki-laki", "terlalu dominan". Padahal merekalah yang melepaskan tanggung jawab mereka lebih dulu.
Penutup : Kemandirian Bukan Selalu Cerita Bahagia