Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Agama, Faktor Krusial Kekerasan SARA

8 Maret 2018   15:34 Diperbarui: 8 Maret 2018   15:47 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinergi Jawa Pos – Radar Malang Online - Radar Malang

Indonesia. Negara ini menganut paham dan jalan hidup berdasarkan atas Pancasila yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang katanya berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu jua". Hal ini memang menjadi faktor yang membawa kita menuju kemerdekaan pada saat-saat genting. Akan tetapi, semboyan yang dijunjung tinggi ini seringkali hanya tinggal di pikiran dan tidak diindahkan oleh kita.

Sejak lahir, kita tinggal di NKRI ini, adalah atas jasa para pejuang yang menyadari Indonesia yang serba beragam baik dari etnis, bahasa, adat istiadat, budaya, sistem, ormas dan partai, yang seringkali kita sebut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Konsep dari semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" tidaklah sembarangan dibuat, tapi ber tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan senasib dalam bingkai NKRI.

Kekerasan SARA adalah kekerasan yang motifnya merupakan sentimental antar suku, agama, ras,atau golongan tertentu. Konflik bisa disebabkan hanya karena hal sepele, seperti tersinggung, diledek atau hal-hal yang sekiranya tidak perlu dibesar-besarkan, akan tetapi mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan tindak kekerasan. Bila terjadi, imbas dari kekerasan ini tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, namun juga berdampak pada kondisi mental.

Konflik atas persoalan agama merupakan yang utama dibandingkan suku atau ras. Mengapa demikian? Menurut M. Abdullah Darraz, Direktur Program MAARIF Institute hal ini dikarenakan agama merupakan keyakinan yang paling esensial, sehingga apabila diganggu maka orang akan memperjuangkannya dengan respon yang kuat.

Contohnya dapat dilihat dari kasus-kasus meliputi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dimana beliau bertindak sebagai pemimpin yang non-muslim dan dari etnis nonpribumi. Baik di laman media sosial dan kehidupan nyata, ia disudutkan atas dasar sentimen soal agama.

Semua orang sebagai warga negara Indonesia, memiliki hak atas jabatan apa pun untuk memimpin negara ini. Namun bagi beberapa orang, berkompromi soal agama dan keyakinan adalah perihal yang tidak dapat dikabulkan. Agama tidak dapat dikorbankan demi uang, jabatan, pangkat dan apa pun itu.

Kita semua perlu mengakui bahwa kekhawatiran mengenai berpolitik menggunakan sentimen agama akan digunakan juga di berbagai tempat di Indonesia, disebabkan oleh betapa efektifnya metode tersebut. Masyarakat menganggap kesamaan keyakinan merupakan hal yang utama, meskipun pemimpin yang akan dipilihnya tidak memiliki kecapakan kepemimpinan dan paham akan birokrasi.

Solusi atas masalah ini menurut kompas.com adalah para tokoh agama perlu berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu kepada umat-umatnya, karena konflik yang timbul tidak lepas dari khotbah para tokoh agama. Negara pun perlu ikut aktif, tegas, dan adil dalam menyidik, menyidang, dan menghakimi siapapun yang terlibat dalam konflik.

Menurut saya sendiri, solusi yang baik adalah dengan menumbuhkan sikap toleransi dalam diri kita masing-masing. Dalam interaksi dengan orang yang menganut paham yang sama dengan kita pun masih bisa timbul gesekan dan kesalahpahaman. Jadi, memaklumi dan mencoba mengerti akan satu sama lain adalah kunci agar kita tidak mudah terprovokasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun