Mohon tunggu...
regina nababan
regina nababan Mohon Tunggu... lainnya

suka menari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gaya Kepemimpinan di Asrama Yayasan TB Soposurung: Antara Otoriter dan Demokratis dalam Dinamika Sosial

6 Oktober 2025   22:10 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:08 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Regina (Pelajar Sosiologi yang Suka Mengamati Kehidupan Asrama)

 Bayangkan kamu tinggal di asrama: bangun pagi bersama puluhan orang asing yang jadi teman sehari-hari, berbagi kamar sempit, dan menghadapi drama kecil seperti rebutan giliran mandi atau konflik jadwal pembersihan kamar. Pernahkah kamu bertanya-tanya, apa yang membuat asrama itu harmonis atau justru penuh gesekan? Jawabannya sering kali ada di tangan pemimpinnya---kepala asrama,wakil kepala asrama, pamomg, pengawas, atau bahkan "bos" informal di antara penghuni.

Sebelum kita gali lebih dalam, mari pahami dulu apa itu kepemimpinan. Secara sederhana, kepemimpinan adalah proses di mana seseorang memengaruhi, memotivasi, dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Ini bukan cuma soal jabatan, tapi seni membangun hubungan sosial dalam kelompok. Dari perspektif sosiologi, kepemimpinan muncul sejak masyarakat purba---seperti pemimpin suku yang mengatur berburu---dan berevolusi seiring peradaban. Max Weber, sosiolog Jerman abad ke-20, mendefinisikannya sebagai otoritas yang sah, di mana pemimpin punya legitimasi (karisma, tradisi, atau rasional) untuk memerintah.

Dalam ilmu sosiologi, kepemimpinan bukan cuma soal perintah, tapi seni membentuk masyarakat kecil. Max Weber, sosiolog Jerman legendaris, membagi gaya kepemimpinan menjadi tiga: otoriter (seperti raja yang memerintah), demokratis (seperti rapat desa gotong royong), dan laissez-faire (biarin aja, seperti pesta tanpa tuan rumah). Di asrama Indonesia---dari pondok pesantren di Jawa hingga asrama mahasiswa di kota besar---gaya ini memengaruhi segalanya, mulai dari persahabatan hingga konflik sosial. Taukah kamu masalah di asrama berawal dari gaya kepemimpinan yang salah? Artikel ini akan ajak kamu gali lebih dalam: apa bedanya gaya otoriter dan demokratis, dampaknya terhadap kehidupan sosial, dan bagaimana kita bisa ciptakan kepemimpinan yang bikin asrama jadi rumah kedua yang asyik.

1. Gaya Kepemimpinan Otoriter: Kekuasaan yang Bikin Disiplin, Tapi Bisa Bikin Bosan

Pernahkah kamu lihat kepala asrama yang seperti komandan militer? "Semua diam! Ikuti aturan atau kena hukuman!" Itulah gaya otoriter pemimpin pegang kendali mutlak, keputusan dibuat sendirian, dan anggota cuma patuh. Di Asrama Yayasan TB Soposurung, gaya ini sering dipakai untuk jaga disiplin. Misalnya, jam malam ketat pukul 10 malam, tugas piket dibagi tanpa tanya pendapat, dan pelanggaran langsung kena sanksi seperti push-up atau credit poin.

Dari kacamata sosiologi, ini mirip teori birokrasi Weber: efisien buat atur kelompok besar, terutama di lingkungan yang butuh aturan ketat seperti Asrama Yayassan TB Soposurung dengan semi militer. Keuntungannya? Asrama jadi rapi, konflik besar dicegah, dan semua orang tahu batasannya. Bayangkan di asrama SMA Negeri 1 Yogyakarta: aturan otoriter ini bantu kurangi tawuran antarpenghuni dari daerah berbeda, karena disiplin jadi budaya utama. Tapi, taukah kamu sisi gelapnya? Kurt Lewin, pakar sosiologi kelompok, dalam eksperimen tahun 1939, temukan bahwa kelompok otoriter bikin orang kurang kreatif dan penuh ketakutan. Di asrama, ini bisa berujung pada "pemberontakan diam-diam": gosip di balik pintu, stres emosional, atau bahkan depresi karena merasa nggak punya suara. Pernahkah kamu rasain itu? Saat pemimpin terlalu bossy, hubungan sosial jadi kaku, seperti robot-robot yang patuh tapi nggak bahagia.

 

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis: Suara Semua, Harmoni yang Lebih Hangat

Sekarang, bayangkan sebaliknya: rapat asrama di mana semua orang boleh usul, dari ide pesta akhir pekan sampai cara bagi tugas masak. Itulah gaya demokratis---pemimpin jadi fasilitator, keputusan lahir dari diskusi bersama. Di asrama modern seperti asrama Universitas Indonesia atau asrama swasta di Jakarta, ini sering dipraktikkan lewat voting online atau forum bulanan. Contoh nyata: Di asrama mahasiswa UGM Yogyakarta, ketua asrama adakan "forum gotong royong" untuk atasi masalah sampah, hasilnya? Semua ikut tanggung jawab, dan konflik budaya antarpenghuni dari Papua ke Aceh berkurang drastis.Kadang gaya kepemimpinan ini juga dipakai di Asrama Yayasan TB Soposurung untuk mendapatkan pendapat siswa tentang asrama maupun sekolah.

Sosiologisnya, ini selaras dengan ide Jrgen Habermas tentang "demokrasi deliberatif"---di mana obrolan terbuka bangun konsensus dan solidaritas. Dampaknya luar biasa: rasa memiliki naik, kreativitas meledak, dan dinamika sosial jadi lebih inklusif. Taukah kamu, studi mile Durkheim soal solidaritas organik bilang bahwa kelompok seperti ini lebih tahan banting terhadap tekanan luar, seperti saat pandemi di mana asrama demokratis cepat adaptasi protokol kesehatan karena semua terlibat. Tapi, nggak sempurna kok---prosesnya bisa lama, seperti debat panjang soal menu makan malam yang bikin capek. Di asrama perempuan di Bandung, misalnya, gaya ini kadang jadi "demokrasi berlebih" yang malah bikin keputusan mandek, terutama kalau ada ego clash antarpenghuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun