Â
 Walau begitu, seorang pelaut dan navigator Portugis bernama Gil Eanes, menemukan suatu metode yang bisa menaklukkan Cape Bojador di tahun 1434. Prinsip dari metodenya adalah, untuk bisa berlayar melalui pola pergerakan angin dan arus yang kompleks, "defleksi" atau pembelokan yang disebabkan oleh arus atau angin yang tidak diketahui sebelumnya perlu dihitung. Gil Eanes mengaplikasikannya dengan, pertama, menghitung dan memperkirakan arah dan kecepatan arus Canary, arus yang ia manfaatkan untuk keberangkatan. Lalu, ia memperhatikan dan menghitung defleksi arah berlayar mereka dari arah yang seharusnya, jika memang ada. Dari sini, ia lalu mengoreksi defleksi tersebut dan kembali ke jalur yang benar.Â
 Tentunya, di wilayah dengan pola angin yang kompleks, koreksi ini perlu dilakukan hampir setiap saat karena skala waktu dari perubahan pergerakan angin ataupun arusnya tidak diketahui. Metode ini sangat terkenal di kalangan pelaut untuk mengatasi perjalanan sulit akibat kedua faktor tersebut dan faktanya, sampai sekarang masih tetap digunakan (Dartnell, 2019). Cape Bojador, oleh karenanya, dapat ditaklukkan oleh para penjelajah Portugis. Mereka pun berani untuk berlayar lebih jauh lagi ke selatan.
 Pada 1460, para penjelajah Portugis sudah berlayar sejauh 3000 km ke selatan sepanjang pesisir barat Afrika dari pantai Portugal (Paine, 2013). Dari sini, mereka mulai memasuki Teluk Guinea dan menemukan masalah baru. Northeasterly winds yang selama ini menjadi andalan mereka untuk berlayar ke selatan dari Kepulauan Canary sudah tidak ada lagi karena daerah ini sudah memasuki wilayah ekuator. Mereka kini memasuki wilayah doldrum. Butuh waktu 14 tahun hingga mereka dapat melewati Teluk Guinea dan memasuki bagian selatan ekuator (hemisfer selatan Bumi). Setelah mereka melewati ekuator, mereka melanjutkan perjalanan ke selatan menyisir pantai Afrika terus ke selatan menuju ujung dunia.
 Para penjelajah Portugis pada era tersebut sebenarnya memiliki tujuan utama yang sama: mencapai daratan Asia untuk berdagang. Kenapa harus Asia? Seperti yang mungkin sudah pembaca ketahui dari artikel pertama, negara-negara seperti India, China, dan Indonesia (saat itu, sebagian besar ketertarikan orang Eropa terhadap Indonesia disebabkan oleh keberadaan pulau-pulau penghasil pala dan cengkeh, Maluku dan Banda, yang kemudian dikenal dengan nama Kepulauan Rempah-rempah) memiliki banyak sekali persediaan rempah-rempah yang menjadi salah satu komoditas paling utama dan penting saat itu sehingga sampainya penjelajah Portugis di sana akan menjadi pencapaian yang amat penting bagi mereka.Â
 Perlu diketahui bahwa sebelum ditemukannya kereta uap, perjalanan melalui laut adalah yang tercepat pada saat itu, sehingga mau tidak mau mereka harus mengitari Afrika untuk sampai ke Asia. Oleh karenanya, setiap ekspedisi yang dilakukan selalu berhenti secara teratur untuk mengumpulkan informasi mengenai geografi dan peradaban lokal di benua tersebut, jika ada. Hal ini ditujukan untuk memetakan geografi dan topografi pesisir Afrika sebagai keperluan navigasi untuk ekspedisi-ekspedisi selanjutnya. Di setiap titik terjauh yang dicapai, mereka selalu memasang sebuah pilar batu yang disebut Padro di dekat garis pantai sebagai checkpoint dan juga untuk menunjukan supremasi mereka dalam hal penjelajahan.
 Salah satu penjelajah Portugis yang paling fenomenal adalah Bartolomeu Dias. Ialah yang pertama mencapai ujung Afrika pada 1488. Ia berangkat dari Portugal pada Agustus 1487 dalam rombongan tiga kapal, transit di Kepulauan Canary, mengitari Cape Bojador, dan terus menyusuri pesisir barat Afrika hingga sampai di padro terjauh yang diletakkan oleh ekspedisi sebelumnya empat bulan kemudian. Selama ia menyusuri pantai Afrika setelah Teluk Guinea, sebenarnya ia melawan pergerakan angin dan arus (southeasterly winds dan arus Benguela). Ia sadar bahwa jika tetap melawan keduanya, ia tidak akan pernah sampai ke ujung Afrika dengan mengingat keterbatasan persediaan.Â
 Oleh karenanya, ia memutuskan untuk mengambil langkah radikal. Ia melakukan volta do mar, hanya saja dalam arah yang berlawanan: ia berlayar ke barat menuju Samudra Atlantik, lalu berharap agar westerly winds mendorong mereka ke arah timur mengitari ujung Afrika. Sebulan kemudian, di lintang sekitar 38 derajat selatan, taruhannya membuahkan hasil. Northwesterly winds yang diharapkan muncul akhirnya benar-benar membawanya ke timur. Saat ia melihat daratan dan mengikuti garis pantainya, ia sadar bahwa mereka bergerak ke arah timur laut.Â
 Hal ini hanya memiliki satu arti: ia berhasil mengitari ujung Afrika. Ia menjadi penjelajah Eropa pertama yang berhasil mengitari benua yang luas tersebut dan pencapaian ini merupakan hasil dari keberaniannya untuk mengambil suatu langkah yang tidak berani dilakukan oleh para penjelajah sebelumnya. Walau begitu, persediaan kapal dan awaknya hampir habis dan ia terpaksa untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Dias melihat apa yang ia percayai sebagai ujung benua tersebut. Ia lalu menamainya Cape of Storms. Nama tersebut lalu diubah oleh Raja Joo II dari Portugal menjadi Cape of Good Hope.
Yuk langsung baca bagian selanjutnya untuk mengetahui lebih lanjut!