Mohon tunggu...
Alvian Fachrurrozi
Alvian Fachrurrozi Mohon Tunggu... Seniman - Penulis bebas

Manusia bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kejawen Modernis

25 Juli 2022   22:13 Diperbarui: 26 Juli 2022   16:52 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dr. Cipto Mangunkusumo karya pelukis Suroso

Berbicara tentang aliran spiritual dan politik di tanah Jawa, selama ini para peneliti, sejarawan, dan banyak penulis membaginya menjadi dua arus besar, Abangan dan Santri. Khusus untuk Santri, sudah jamak dipahami teridentifikasi lagi menjadi dua kategori, yaitu Santri Tradisonal dan Santri Modernis.

Santri Tradisional merujuk kepada sebuah aliran Islam yang mengusung nilai-nilai tradisional yang bersumber dari kitab-kitab para ulama Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan Santri Modernis sebuah aliran Islam yang mencoba mengadopsi nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan, dan perjuangan sosial. Aliran Santri Modernis ini juga melakukan peninjauan secara kritis terhadap konsep-konsep lama (kecuali Al Qur'an dan Hadits) dan kitab-kitab dari para ulama Islam terdahulu, serta mereka melakukan penafsiran yang baru dalam praktik keberagamaan.

Nah jika kelompok Santri oleh para cendekiawan dicandra menjadi dua varian yang demikian tegas itu, apakah demikian juga yang terjadi di kelompok yang disebut Abangan, atau yang lebih tepatnya disebut kelompok Kejawen (karena Abangan hanyalah istilah peyoratif yang diberikan oleh kalangan Santri)?

Rupanya kok tidak sama sekali. Seakan memang seperti ada yang luput dari amatan para peneliti, sejarawan, penulis, atau bahkan budayawan dan ilmuwan sosial. Kelompok Kejawen kerapkali dipandang hanya terdiri dari satu identitas tunggal belaka. Sejauh pengetahuan saya, belum pernah saya membaca atau mendengar ada istilah Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis atau istilah Abangan Tradisional dan Abangan Modernis. Bahkan antropolog kondang Clifford Geertz pun hanya mencandra "orang Jawa yang berjati diri Jawa" dengan istilah Abangan dan Priyayi yang sama sekali tidak menggambarkan varian watak Tradisional atau Modernis di antara kelompok orang-orang Jawa yang berjati diri Jawa tadi. Karena istilah Abangan dalam pencandraan Clifford Geertz terdiri dari orang-orang Jawa pedesaan yang konservatif, tradisional, lugu, dan tidak berpendidikan tapi sekaligus juga terdiri dari orang-orang Jawa yang merupakan kader-kader partai Kiri yang bersifat progresif, modernis, dan revolusioner. Sementara kalangan Priyayi terdiri dari orang-orang feodal konservatif tradisional dari keraton atau para pegawai negeri, dan terdiri juga dari para priyayi modernis yang terpelajar serta memiliki pemikiran maju dan revolusioner.

Maka menurut saya pencandraan dari Clifford Geertz itu masih campur aduk dan tidak memperjelas mengenai varian Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis yang saya maksud. Begitupun jika kita tenggok pencandraan dari sejarawan Indonesianis kondang M.C. Ricklefs, dari sana pun kita juga tidak menemui pencandraan secara utuh mengenai eksistensi dua kelompok dalam masyarakat "Jawa yang berjati diri Jawa" tadi. Dalam bukunya "Mengislamkan Jawa: sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang", M.C. Ricklefs lebih menganalisa masyarakat Jawa dalam bentuk pertalian dengan partai afiliasinya yaitu: Santri Tradisional (Partai NU), Santri Modernis (Masyumi), Abangan (PKI), dan Priyayi (PNI). Jadi bagi saya, M.C Ricklefs itu hanya mengulangi pencandraan masyarakat Jawa dari Clifford Geertz saja dan belum sampai pada pencandraan jika orang Jawa/Abangan/Kejawen itu juga terbagi menjadi dua varian yang sama persis seperti di kalangan santri.

Tentu saja pencandraan saya ini tidak mengada-ada, tapi berdasarkan pengamatan saya yang cukup panjang selama ini, bahwa di kalangan penghayat ajaran Kejawen itu pun juga terbagi menjadi dua varian seperti varian Muhammadiyah (ormas terbesar yang mewakili Islam Modernis) dan varian NU (ormas terbesar yang mewakili Islam Tradisional) di dalam lingkup kalangan Santri/Islam.

Bagi kalangan Islam Tradisional tentu akan merasa jenggah melihat kelompok Islam Modernis yang mengganut prinsip egaliterisme Barat yang lalu tidak sudi menghormati seseorang hanya karena nasab/darah keturunan, mereka hanya bersedia menghormati seseorang atas dasar moralitas, ilmu, prestasi, atau jasa-jasa kebaikannya. Maka jangan heran bentuk-bentuk feodalisme religius seperti "pengkultusan pada manusia" yang ditunjukkan pada para Habib dan para anak turun kyai (Gus/Lora) hanya akan berlaku di kalangan Islam Tradisional seperti Islam Syiah, Nahdlatul Ulama (NU), PERTI, Nadhlatul Wathan (NW) dan tidak akan berlaku di kalangan Islam Modernis (yang telah terinjeksi nilai-nilai liberal Revolusi Prancis yang bersanad dari ulama reformis Mesir, Rasyid Ridha) seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. Saya selamanya tetap ingat akan satu wejangan keren tentang sikap "anti mental feodal" yang diberikan oleh guru saya di sekolah Muhammadiyah dulu:"Laisal fata man yaqulu hadza aba walakinnal fata man yaqulu ha ana dza". Seorang pemuda itu bukanlah yang mengatakan ini bapakku atau kakekku, tapi inilah diriku sendiri.

Di kalangan Islam Tradisional, perguruan-perguruan Tarekat bertumbuh dengan subur dan para pendiri/mursyid Tarekat sangat begitu dikultuskan, sampai-sampai pakaiannya, bekas air minumnya, bahkan rontokkan rambutnya dianggap sangat suci dan membawa berkah spiritual, sementara bagi Islam Modernis semua itu hanyalah omong kosong, feodalisme akut, dan bahkan kultuisme berlebihan yang akan mematikan nalar sehat penganutnya.

Bahkan jangan heran ormas Islam Modernis terbesar seperti Muhammadiyah itu juga mengusung semangat anti patriarkisme dan anti poligami, padahal di negara-negara Islam di jazirah Arab sana, patriarkisme, poligami, dan bahkan pedofilia adalah hal yang wajar dan mereka bahkan bisa mencari legitimasi pembenarannya dari Al Qur'an dan Hadits. Tetapi bagi kalangan Islam Modernis, sudah jijik dengan semua itu, semua itu dipandang nilai-nilai yang telah busuk dan tidak relevan dengan modernitas zaman yang menghendaki kesadaran proporsional tentang gender.

Dalam bidang pendidikan, Islam Modernis juga lumayan adaptif dengan zaman dan pemikiran Barat. Di masa Hindia Belanda orang-orang Muhammadiyah itulah di antara kalangan Islam yang memelopori pengadopsian sistem pendidikan Barat, tatkala orang-orang Islam Tradisional seperti NU masih kolot dan gampang menolak serta auto mengkafirkan segala hal yang berbau Barat, termasuk bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat. Maka kiranya bisa dimengerti di antara para pahlawan nasional dari kalangan Islam itu lebih banyak dari kalangan Islam Modernis daripada kalangan Islam Tradisional, karena merekalah kelompok Islam yang lebih dulu melek dalam hal pendidikan Barat yang terbukti menyuplai kecermelangan pikiran. Bukan pendidikan metode hafalan yang tidak mengasah intelektualitas sama sekali seperti pendidikan pesantren kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun