Jalur hukum memang menghasilkan ekuilibrium yang ideal. Sehingga, individu yang rasional pasti memilih jalan ini. Akan tetapi, pemilihan ini dilakukan jika sistem hukum perdata sudah ditegakkan dengan benar dan transparan. Jelas, negeri kita tercinta belum memenuhi kriteria ini.
Membuktikan premis ini mudah. Tak usah jauh-jauh, amati saja ketika kepolisian melakukan penilangan lalu lintas. Kendaraan-kendaraan yang terjaring operasi marak melakukan suap kepada oknum aparat. Para pengendara sering menyebutnya sebagai "kondangan ke polisi". Korupsi yang sudah membudaya ini menunjukkan penegakkan hukum yang masih lemah.
Jika di tingkat dasar saja seperti itu, apalagi pada tingkat yang lebih tinggi seperti kasus mengenai kebebasan beribadah? Hak insan pers terhadap perlindungan dari kekerasan saat bertugas? Independensi hakim saja belum benar-benar terjadi di negeri ini. Lihat saja berbagai kasus penyuapan terhadap hakim yang sering mencuat.
Kesimpulannya, meterai 6000 menjadi pendamai karena sistem hukum tidak memberikan performa yang maksimal. Bukannya memberikan harapan, penegakkan hukum malah menjadi sandungan bagi pencari keadilan. Kombinasi korupsi dan ketiadaan rasa percaya membuat pihak yang bertikai enggan menempuh jalur hukum.Â
Mereka malah memilih untuk mengacuhkan keadilan di atas meterai hijau. Keacuhan inilah yang memicu lingkaran setan permasalahan hukum di Indonesia.
Maka dari itu, kita harus menghentikan siklus ini. Caranya sederhana, tetapi memerlukan political will yang kuat. Sikat habis korupsi dengan mendorong transparansi dalam seluruh sistem penegakkan hukum kita. Dari sini, baru kita dapat mengembalikan kepercayaan publik pada sistem penegakkan hukum. Kepercayaan inilah yang menjadi kunci dari kembalinya keadilan dan hilangnya keajaiban laten meterai 6000.
REFERENSI:Â
https://akurat.co/. Diakses pada 1 Juli 2020.
https://www.wartasidik.co.id/. Diakses pada 1 Juli 2020.
https://seword.com/. Diakses pada 1 Juli 2020. Â Â
https://www.mypurohith.com/. Diakses pada 1 Juli 2020.