Suasana Idulftri masih lekat dalam diri. Semua orang bersuka-cita menyambut hari raya, merayakan Ramadan yang telah berlalu meninggalkan. Bukan hanya bermaaf-maafan, orang-orang memenuhi jalan-jalan. Mereka bermobilitas dengan tujuannya masing-masing. Berbahagialah mereka---seharusnya begitu.
Namun, agaknya saya terganggu kala melihat postingan Threads, seorang ibu yang mengeluh menunggu angkutan umum yang ditunggunya tak kunjung datang. Dahi pun dibuat terlipat, bagaimana mungkin Bogor yang kesohor akan populasi angkotnya justru tega membiarkan warganya menunggu sekian lama untuk moda transportasi yang masih menjadi primadona tersebut?
Usut punya usut, ternyata apa yang dialaminya merupakan imbas kebijakan Gubernur Jawa Barat saat ini. Dikutip dari detiktravel, Dedi Mulyadi menyebut angkot sebagai biang kerok kemacetan di Cipanas-Puncak. Atas dasar tersebut dirinya meliburkan operasional angkutan perkotaan hingga H+7 hari raya idul fitri. Sopir yang terdampak diberikan kompensasi uang tunai sebanyak Rp 1 juta dan sembako senilai Rp 500 ribu.
Masyarakat umumnya merespon kebijakan ini secara positif karena dinilai menyelesaikan masalah kemacetan di jalur Puncak yang seringkali mendera pemudik dan wisatawan yang akan menikmati libur panjang. Ditambah pemberian kompensasi bagi sopir angkot memberikan angin segar bagi mereka yang periuk nafkahnya dihentikan sementara. Namun, ada hal lain yang penting untuk dikritisi; apakah sang Gubernur telah mempertimbangkan keputusan yang dibuatnya, atau ini hanya kebijakan yang lahir dari reaksi spontan seperti biasanya?
Kecacatan dalam Perumusan Kebijakan jelas Merugikan
Seperti yang kita ketahui bersama, baik Kota dan Kabupaten Bogor memang tersohor sebagai kota seribu angkot. Pada awal tahun 2024 Dinas Perhubungan Kota Bogor mencatat terdapat 3.400 angkot yang beroperasi di Kota Bogor, sehingga dinilai tidak ideal bagi sebuah kota yang sempit memiliki angkutan umum sebanyak ini. Volume lalu lintas yang semakin padat dan kebiasaan ngetem sopir menyebabkan kemacetan tak dapat dihindari, khususnya pada musim liburan. Jadi tak heran, reaksi pemerintah adalah mencari solusi instan dari permasalahan ini.
Secara praktik, kebijakan untuk menghentikan operasional angkot memang sangat mudah diterapkan. Gubernur hanya memberikan intruksi, lalu mengucurkan dana dari APBD untuk memenuhi kompensasi dan berkoordinasi dengan dinas terkait, akan tetapi tak selamanya sesuatu yang serba instan itu baik. Implementasi kebijakan ini justru menemui cacat mekanisme apabila ditinjau dari aspek konstitusi dan tidak memenuhi kriteria good governance yang ada. Segala kepraktisan yang ada tidak melalui prinsip yuridis dan kajian akademis yang matang.
Dalam Pasal 7  Ayat (1) UU nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dasar penyelenggaraan kebijakan harus memenuhi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Pada pasal 10 dijabarkan bahwa salah satu asas yang dimaksud adalah asas kemanfaatan yang perlu diperhatikan secara seimbang antara kepentingan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Di satu pihak, pengguna kendaraan pribadi jelas diuntungkan, tetapi di sisi lain pengguna transportasi umum dirugikan karena mobilitas mereka menjadi terhambat. Ditambah  lagi, tidak adanya alternatif transportasi umum yang layak dan terjangkau semakin mempersulit mereka untuk bepergian. Dalam hal ini, asas tersebut tidak terpenuhi oleh Pemprov Jawa Barat sebab untuk memenuhi kebermanfaatan suatu  kebijakan harus mengabaikan kebermanfaatan bagi kelompok lainnya.
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Itu berarti, kebijakan sebagai acuan untuk merumuskan suatu produk hukum perlu mengakomodasi semua kepentingan individu dan bersifat inklusif. Argumentasi yang mengatakan tidak ada kebijakan yang dapat menyenangkan semua orang tentu tidak dapat dibenarkan sebab setiap kebijakan yang diterapkan pasti berpengaruh pada kehidupan setiap warga negara. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kebijakan menyenangkan bagi semua orang, sekalipun harus memenuhi tuntutan dari golongan minoritas seperti pengguna transportasi umum yang terus menurun jumlahnya.