Mohon tunggu...
Alvia12
Alvia12 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Pendistribusian Pendapatan dalam Menafkahi Keluarga

11 Oktober 2018   22:12 Diperbarui: 11 Oktober 2018   22:16 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Artinya :"Abi Mas'ud al-Badri dari Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya seorang muslim jika memberikan nafkah kepada keluarganya yang berasal dari jerih payahnya, maka hal itu  merupakan sedekah baginya"(HR. Muslim).  

            Jika seseorang memberikan nafkah kepada orang lain, maka orang tersebut juga akan mendapatkan nafkah dari Allah SWT. Sesuatu yang diberikan kepada orang lain tidaklah hilang percuma, tetapi akan mendapatkan ganti dari Allah baik berupa pahala maupun ganti materi dalam waktu yang lain.

            Secara bahasa, distribusi berasal dari bahasa inggris distribution yang berarti penyaluran dan pembagian, yaitu penyaluran, pembagian atau pengiriman barang atau jasa kepada beberapa orang atau tempat. Distribusi adalah suatu proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan para pemakai.(K. Adi Gunawan,2006:114) Distribusi pendapatan dalam islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam islam adalah proses pendistribusiannya. Secara bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan disisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkekurangan).

Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada nilai-nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu nilai keadilan dan nilai kebebasan.(Yusuf al-Qardhawi,1995:319)

Keadilan

Keadilan dalam islam merupakan pondasi yang kokoh meliputi semua ajaran dan hukum islam. Persoalan yang menjadi perhatian islam dalam keadilan adalah pelarangan berbuat kezaliman. Ketidakseimbangan distribusi kekayaan adalah sumber dari semua konflik individu dan sosial. Untuk itu, agar kesejahteraan sosial dapat di wujudkan, penerapan prinsip keadilan ekonomi merupakan suatu keharusan. Keadaan itu akan sulit dicapai bila tidak ada keyakinan dan penerapan prinsip moral tersebut. Di sinilah di perlukan pembumian etika ekonomi, menjadikan konsep moral sebagai faktor endogen dalam perekonomian.

Kebebasan

            Nilai yang utama dalam bidang distribusi kekayaan adalah kebebasan. Menurut al-Qaradhawi pembolehan dan pengakuan kepemilikan secara pribadi merupakan bukti dan jaminan pertama dari kebebasan yang ada dalam ekonomi islam. Namun, sesungguhnya kebebasan yang disyariatkan islam dalam ekonomi bukanlah kebebasan mutlak tanpa batasan seperti yang terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, melainkan kebebasan yang terkendali.

            Nilai kebebasan dalam islam memberi implikasi terhadap adanya pengakuan akan kepemilikan individu. Setiap hasil usaha seorang muslim dapat menjadi miliknya menjadi motivasi yang kuat bagi dirinya untuk melakukan aktivitas ekonomi. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kekayaan. Kekayaan tidak akan ada artinya, kecuali dengan memberikan pengakuan hak kepemilikannya. Dalam islam, legitimasi hak milik sangat terkait erat dengan pesan moral untuk menjamin keseimbangan. Hak milik pribadi diakui, dan hak kepemilikan itu harus berfungsi sebagai nafkah bagi diri dan keluarga, berproduksi dan berinvestasi, mewujudkan kepedulian sosial dan jihad fisabilillah. Ini berarti pengakuan hak kepemilikan dapat berperan sebagai pembebasan manusia dari sikap meterialistis. Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep kepemilikan dalam perspektif islam menjadikan nilai-nilai moral sebagai faktor endogen, dan menjadikan nilai-nilai itu bersentuhan dengan hukum-hukum Allah.

            Setiap manusia atau individu terus berusaha mencapai tingkat kemapanan materi. Akan tetapi, selalu ada pihak yang berkekurangan dan sebaliknya ada pula pihak yang berkelebihan. Kaya dan miskin merupakan sunnahtullah. Harus di pahami, bahwa islam tidak menjadikan kesamaan ekonomi untuk semua umat sebagai tujuan utama dari distribusi dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, upaya untuk mengeliminasi kesenjangan pendapatan umat adalah sebuah keharusan. Kewajiban untuk menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (yang berkecukupan) merupakan insentif bagi pihak defisit (pihak yang kekurangan). Islam menawarkan konsep optimalisasi proses distribusi dan redistribusi pendapatan. Konsep ini menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (negara) yang sangat bergantung pada ketaatan personal (rumah tangga) maupun masyarakat muslim.

            Nilai-nilai islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga muslim. Seluruh proses aktivitas ekonomi didalamnya, harus dilandasi oleh nilai-nilai islam. Mulai dari proses produksi, konsumsi, transaksi, dan investasi. Aktivitas tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.

            Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari shadaqah. Shadaqah dalam konteks terminologi Al-Qur'an dapat di pahami dalam tiga aspek, yaitu: shadaqah wajibah,shadaqah nafilah dan hudud.(Afzalur Rahman,1985:94) Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk distribusi pendapatan sektor rumah tangga yakni:

            Pertama, shadaqah wajibah berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis kewajiban. Untuk kategori ini bisa berarti kewajiban seseorang sebagai muslim dengan muslim lainnya, seperti :

Nafkah, merupakan kewajiban untuk menyediakan kebutuhan yang diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan.

Zakat, yakni kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian hartanya, untuk mendistribusikan kepada yang berhak menerimanya.

Warisan, yaitu pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang sudah meninggal, kepada para ahli warisnya.

            Kedua, shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis amalan sunat, seperti: (Mustafa Edwin Nasution, 2006:136)

Infak, yaitu sedekah yang berikan kepada orang lain jika kondisi keuangan rumah tangganya sudah melebihi batas kebutuhan dasarnya.

Aqiqah, yakni kegiatan pemotongan kambing untuk anak yang dilahirkannya, satu ekor untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki.

Wakaf, yakni menahan harta milik guna diambil manfaatnya untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran islam.

             Ketiga, hudud (hukuman) adalah instrumen yang bersifat aksidental dan merupakan konsekuensi dari berbagai tindakan. Atau dengan kata lain, instrumen ini tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya tindakan ilegal yang dilakukan sebelumnya, di antaranya adalah:

Kafarat, yakni tebusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang muslim, misalnya melakukan hubungan suami istri pada siang hari dibulan ramadan. Slah satu pilihan dari hukuman yang diberikan adalah memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang.

Dam/diyat, yakni tebusan atas tidak dilakukannya suatu syariat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji.

Nazar, yakni perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, atas keberhasilan mencapai sesuatu yang menjadi keinginannya.

              Dari uraian diatas, yang menjadi penekanan dalam konsep distribusi pendapatan adalah adanya hak Allah SWT, dan Rasul-Nya serta muslim lainnya dari setiap pendapatan seorang muslim. Hal ini juga diarahkan sebagai bentuk tafakul ijtima'i (jaminan sosial) seorang muslim dengan keluarga dan dengan orang lain, sehingga menjamin tidak terjadinya ketidakseimbangan pendapatan.

              Dari seluruh kepemilikan asset, pertama yang harus di keluarkan atau didistribusikan adalah kebutuhan keluarga. Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan memberikan kelapangan susudah kesempitan."(ath-Thalaaq:7) Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak, dan penghuni rumah tangganya, maka dia telah bersedekah." (HR. Thabrani).

DAFTAR PUSTAKA

Idri,2015.Hadis Ekonomi.Jakarta: Prenadamedia Group.

Rozalinda,2014.Ekonomi Islam.Jakarta: Rajawali.

Syahatah Husein,1998.Ekonomi Rumah Tangga Muslim.Jakarta: Gema Insani Press.

                       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun