Mohon tunggu...
Ratna Ning
Ratna Ning Mohon Tunggu... Administrasi - Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Ratnaning, seorang Ibu rumah tangga yang senang/hoby menulis. Beberapa tulisannya pernah tersebar di media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Arief Pergi

6 Februari 2015   13:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ratna Ning

Aku jujur padamu!

Kepalamu botak seluas samudera. Kalau dilihat dari kejauhan mengkilap, apalagi kalau kena sinar lampu atau matahari. Aduh, udah kulitmu gelap terang, dikombinasi sama botak, aku jujur padamu, agak ngeri juga.

“Wahh, gebetannya professor nih Rin! Hihihi…” komentar Sandy, temenku saat melihat Arief. Aku hanya tertawa saja. Mau bagaimana lagi ekpresi yang kutunjukkan? Menangis? Oh no! Bukan masalah yang menyedihkan banget kepala botak tuh. Yang penting Sandy atau siapapun teman atau tetangga yang mengatainya, asal nggak didepan mukanya saja, aku terima dengan hati yang lapang. Hehe… Nggak terbayang kalau ledekan jail itu dikatakan pas di depan wajahnya.

Lain lagi tanggapan Eny yang selalu sopan santun menjaga imej. Saat Arief kupamerkan padanya sebagai pacarku, Ia menanggapinya dengan positif banget.

“Aku lihat tatapan matanya Rin, hanya tertuju padamuuu saja. Kayaknya, ia memang cowok yang baik. Tipe setia banget. Cocok sama kamu yang juga sangat menjungjung tinggi kesetiaan. Moga-moga hubunganmu langgeng ya!” Komentar Eny lurus dan lempeng kayak jalan tol.

“Aminnn…” Aku mengamini seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Mirip orang yang baru selesai baca doa. Culun. Eny tertawa.

“Tapi, dia botak ya Ny. Keningnya luas sampe lewat di lingkaran telinga. Haduuuhh!!” celetukku dengan mimik kocak. Eny kali ini ngakak seraya menggeplak bahuku.

“Gila kamu. Gitu-gitu juga, dia sayang sama kamu kan?”

Tawaku reda. Kepalaku manggut-manggut. Terdiam sesaat. Mengingat kembali moment-moment perkenalan kami hingga perjalanan sampai ke tahap percintaan. Memang seperti  laju air sungai. Menggeluyur begitu saja. Meski ada batu sandungan, terutama masalah botaknya itu, tapi bisa terlalui dengan lentur karena sikap dan perhatiannya yang lebih merebut simpatiku hingga kekurangan yang nyata-nyata terlihat janggal dan kelebihan itu jadi tersamarkan.

Jika aku menatapnya secara fisik, yang terlihat hanya tatapannya yang teduh, senyumnya yang tenang, tubuhnya yang tinggi tegap serta keseluruhan parasnya yang begitu manis, sedap dipandang. Iapun sangat elegan menyembunyikan kelebihannya itu dengan berpenampilan sporty. Selalu mengenakan topi atau kupluk seperti para pendaki gunung.

Jika mengingatnya dalam khayalku, yang terbayang hanyalah perhatiannya yang tulus, kelembutan sikapnya, kepeduliannya yang begitu overprotective  melindungiku yang membuatku jatuh cinta setengah mati terhadapnya. Arief juga begitu dewasa mengemong dan memanjakanku. Memperlakukanku bak puteri raja. Ia bagiku ibarat dewa yang dengan tongkt ajaibnya mampu menjabani apa yang kumaui.  Jangankan yang terucap, bahkn yang baru terlintas di pikiranku saja ia akan langsung mewujudkannya. Dengan sekali ‘triingg’ semua sudah siap untukku.

“Aku senang jika bisa membuatmu bahagia Rin. Kamu bahagia dengan aku?” perkataannya membuatku melambung dan tersanjung.  Diriku melayang entah di ruang angkasa yang mana, merasakan kebahagiaan yang kutemukan darinya. Sungguh, dalam hati banyak bahasa bagus yang terucap. Ahh, mungkin inilah lelaki terbaik yang dikirim Tuhan untuk memuaskan dahaga kasihku, memenuhi realita yang selalu melayang-layang dalam ruang khayalku, tentang sosok cowok idaman yang kudamba selama ini.  Yang membuatku rela begitu lama bertahan dalam kesendirian dan Cuma nyengir pahit mendapat julukan  ‘jomblo kepaksa’ dari teman-temanku yang mulutnya kayak ban bocor.

Arief memang sosok lelaki dengan sifat yang nyaris sempurna pada pandanganku. Kesempurnaan sikapnya itu membuat mataku tertutup akan kelebihan fisiknya. Ya! Itu memang suatu kelebihan. Karena tak ada cacat di tubuhnya yang membuatnya terlihat kurang. Seperti botak yang agak parah itu, bagiku itu bukan kkurangan. Tapi kelebihan power hingga memaksa rambutnya berguguran, klimis dan tak tumbuh lagi.

“Kamu nggak malu jalan denganku, cantik?” tanyanya suatu hari.

“Malu kenapa?” pertanyaannya kujawab dengan pertanyaan balik seraya mengulas senyum.  Aku tahu kemana arah bicaranya kemudian.

“Ya! Secara kamu cantik sementara aku botak!”

“Tapi kamu nggak tinggal di pohon, di got atau di lubang dalam tanah khan? Kamu juga nggak makan rumput, tulang ataupun beling. Jadi kenapa mesti malu jalan denganmu?” jawabku lancar dengan ekspresi tegar. Kusingkirkan segenap keraguan di hati. Memproklamirkan diri jika Arief memang cowok yang terbaik.  Persetan dengan sepetak botak di kepalanya.

Lalu cintapun terus tumbuh seiring waktu.  Aku bisa menafikan gengsiku yang tinggi dengan Arief. Melupakan kriteria utama tentang cowok idaman, yaitu harus ganteng tak ada kurang. Sekali lagi kutekankan kalau botaknya Arief itu bukan kekurangan. Tapi kelebihan yang cukup membuatnya percaya diri. Akupun enjoy saja karena terlepas dari sang botak, Arief memang cowok ganteng dari orok. Seperti yang sering dikatakannya dengan penuh percaya diri.

Aku jujur padamu, cintaku sudah mulai menancapkan akarnya. Akar itu yang membuat penglihatanku buta akan botak di kepalamu. Akar cinta itu tlah menumbuhkan rambut-rambut khayali di kepalamu. Arief, dan aku bersimpuh ketika pada suatu siang, setelah lama kita lost kontak karena kesibukanmu bekerja, kamu dengan entengnya memutuskan hubungan. Katamu, kita tak ada kecocokan. Katamu, kamu sudah cukup baik memperlakukanku selama ini, tlah mencoba untuk menumbuhkan cinta untukku tapi akhirnya tak pernah bisa. Katamu, kamu tak bisa mencintaiku walau kamu sayang sama aku. Ciihh..aneh.

Lalu aku? Aku merasakan merana itu. Galau, putus asa, sakit hati, merasa dibuang, ditinggalkan, dikhianati dan seabrek rasa negative lainnya. Tapi mau berbuat apa? Sebagai perempuan, aku tak bisa memaksa.

Tapi pasca peristiwa pahit itu, aku kembali bermuhasabah. Haii..bukankah ini yang aku inginkan? Dulu aku selalu berpikir bahwa apakah mungkin aku mengabadikan hubunganku dengannya? Dengan Arief. Cowok botak yang hampir sepertiga kepalanya rontok tak berambut. Belum apa-apa semua orang telah meledekku. Bahkan aku tlah berancang-ancang ingin hengkang dari jalinan ini. Aku tak bisa membayangkan lima tahun kemudian, jika aku sudah menikah dengannya, Arief akan begitu cepat terlihat tua karena botak permanennya.

Bukankah selama ini aku sudah munafik? Lain di mulut lain di hati. Bahkan aku selalu mengkamuflase diri bahwa aku bahagia memilikinya. Aku tak pernah malu atau keberatan dengan penampilan fisiknya. Bukankah selama ini aku sudah menipu diri. Padahal jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tak suka pada cowok botak.

Sekarang, hari ini, aku ingin jujur padamu, Arief. Bukan kamu saja, selama hubungan kita berlangsung, aku sesungguhnya malu, tak kerasan dan tak nyaman menjalin cinta denganmu. Aku jujur padamu, aku malu punya pacar berkepala botak. Dan aku katakan ini sekarang. Untuk menetralkan kadung rasaku yang sudah mulai berpelangi.

***


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun