Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Stabilitas Sistem Keuangan: Potensi Apartemen Mahasiswa

21 November 2014   19:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:12 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kredit perumahan. (Kompas.com/Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi kredit perumahan. (Kompas.com/Shutterstock)"][/caption]

Salah satu penjelasan cukup menarik yang beberapa kali disebut narasumber dari Bank Indonesia Ita Rulina (Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudential) kala mengisi Kompasiana Nangkring Spesial di Yogyakarta 1 November lalu adalah tentang krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat karena bisnis properti (sub prime mortgage). Kebetulan saya tinggal di Jogja, dan kebetulan juga bisnis properti dan apartemen sedang tumbuh-tumbuhnya.

Kepala dukuh yang berada di salah satu dusun daerah Mlati menunjuk ke arah pematang sawah. Sawah yang ditunjuk Pak Dukuh itu kini sebelahnya sudah berdiri kompleks perumahan elit dengan luas kira-kira 5 hektar. Pak Dukuh menjelaskan jika sebagian besar sawah yang ada di dusunnya sudah menjadi milik orang lain di luar dusun.

“Banyak yang dari Jakarta Mbak, orang sini malah lebih banyak yang jadi buruh, kalaupun punya sawah luasnya itu tidak seberapa.”

Pak Dukuh menjelaskan sejak tahun 1970-an jual beli sawah sudah mulai dilakukan, dan baru sekarang pembangunan dilaksanakan. Tidak mengherankan jika dalam jangka waktu satu-dua tahun terjadi alihi fungsi lahan pertanian yang cukup tinggi, terutama di wilayah yang masuk sebagai aglomerasi perkotaan Sleman.

Selain perumahan, bisnis apartemen juga mulai tumbuh di kota Jogja. Kata seorang teman, sebenarnya sejak tahun 2007 sudah ada apartemen yang berdiri. Namun pertengahan tahun 2013, berturut-turut iklan apartemen semakin banyak saya dapatkan, hingga saat ini ada sekitar 4 apartemen yang akan dibangun di kota Jogja, semua berlokasi di dekat kampus. Salah satu apartemen yang sudah hampir selesai pengerjaannya dengan cukup jelas memberi merek khusus “mahasiswa” apartemen mereka.

[caption id="attachment_378144" align="aligncenter" width="448" caption="Apartemen baru siap bersaing bersama 4 apartemen lain yang juga dalam tahap pembangunan (Sleman,DIY)"]

1416912042680022161
1416912042680022161
[/caption]

Apartemen untuk Mahasiswa?

Biasanya setiap hari sabtu iklan-iklan apartemen mulai wara-wiri di televisi, jargon mereka semua sama, untuk investasi. Grup pengembang besar yang menjual apartemen biasanya mengangkat tema-tema green dan kemudahan membayar cicilan per bulan, walaupun bagi saya angka cicilan itu sudah sangat fantastis, karena saya mengukurnya dari kantong mahasiswa, bukan konglomerat yang banyak perusahaan.

Nah, bagaimana dengan kondisi yang ada di Jogja? Sudah sangat jelas jika kota ini adalah kota pelajar. Bahkan beberapa warga Jogja sendiri mengakui jika Jogja bukan tempat mencari kerja, kalau mau kerja ya ke Semarang, Surabaya atau Jakarta. Kenyataan ini cukup membuat agak heran juga, kalau memang di Jogja jumlah mahasiswanya cukup banyak kenapa malah banyak apartemen ya? Yang mau beli apartemen ini siapa, apakah orang Jakarta yang ingin punya rumah di Jogja, kemudian membeli apartemen?

Minat mahasiswa dengan keberadaan kos-kosan ekslusif di kota ini terlihat cukup tinggi. Bulan lalu saya lagi sibuk-sibuknya cari kos-kosan, dan iseng masuk di kos-kosan elit, sewa bulanannya sekitar Rp.1.500.000. Degg!! kaget juga dengarnya, ini baru kos-kosan, kira-kira berapa biaya sewa bulanan kalau tinggal di apartemen. Jangan dikira kos-kosan ekslusif ini sepi peminat, buktinya kos-kosan mahal ini juga selalu penuh kok.

Kenyataan ini juga yang membuat saya cukup optimis misalnya saya adalah pengembang. Buktinya kos-kosan mahal saja laris manis di kota ini, tidak tertutup kemungkinan jika apartemen  punya pasar yang bessar. Buktinya apartemen MC ini sudah pasang reklame baru yang mengumumkan jika penjualan apartemen mereka sudah laku terjual.

Kalau krisis yang terjadi di Amerika tahun 2008 disebabkan karena harga rumah yang “terjun bebas” atau bubble (istilah yang diulang-ulang mas Isjet, hehehe) akibat kredit macet/buntu dari pemilik properti yang kurang kredibel (tidak bisa dipercaya). Sehingga bank menyita seluruh aset , termasuk properti, namun karena jumlah properti yang dijual semakin banyak, Bank tidak memiliki permintaan yang tinggi, yang ada kumpulan aset rumah yang tidak ada nilainya.

Ok, sampai disini, saya kemudian membayangkan. Misalnya sebagian besar penduduk di Yogyakarta mayoritas mahasiswa, dan sedikitnya ada pengusaha. Kalau kita perkirakan rata-rata lama tinggalnya mahasiswa 5 tahun untul S1, 3 tahun untuk S 2, dan 6-7 tahun untuk S3. Artinya jika target pemasaran pemilik apartemen ditujukan untuk mahasiswa, berarti kepemilikan apartemen ini bisa jadi berbentuk sewa.

Kondisi Yogyakarta dan Jakarta sangat berbeda jauh, Jakarta pusat bisnis dan Yogyakarta pusat pendidikan. Apakah biaya sewa atau pembelian apartemen di Yogyakarta mengikuti pengeluaran minimun orang Jogja per bulan? Jika mengikuti konsumsi rata-rata biaya hidup di Jogja maka biaya sewa apartemen ini paling mahal sekitar Rp.2.000.000,- lebih dari nilai ini, angkanya mencapai titik jenuh.

Orang akan lebih memilih tinggal di kos-kosan ekslusif dengan biaya lebih rendah. Pertimbangannya karena jangka waktu mereka menetap kurang lebih 5 tahun, mengeluarkan biaya hingga Rp.2.000.000 per bulan rasanya kurang masuk akal sekalipun mahasiswa ini tergolong keluarga mampu.

[caption id="attachment_378142" align="aligncenter" width="448" caption="Salah satu apartemen yang sementara dalam proses pembangunan di kabupaten Sleman DIY"]

141691191611043053
141691191611043053
[/caption]

Harga Apartemen Berjatuhan?

Bisa ya bisa tidak, tergantung tren kebutuhan mahasiswa atau pengusaha lima tahun pendatang di kota ini. Pertimbangan biaya pengeluaran di kota Jogja yang lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta, akan berpengaruh pada pasaran harga properti.

Mencoba meraup lebih besar atau mengikuti pasaran properti di kota besar seperti Jakarta sepertinya juga akan sulit, karena apartemen ini akan bersaing dengan kos-kosan ekslusif yang menawarkan harga lebih rendah. Krisis Amerika yang berawal dari kredit KPR bisa jadi pelajaran juga.

Sebagai contoh terjadi tren dimana pemilik apartemen yang sudah menempati apartemennya ingin menjual kembali ke pemilik yang lain. Prinsipnya, pemindahan masalah, masalah utang-piutang atau pinjaman akan diteruskan ke pemilik atau penyewa selanjutnya.

Jika gagal bayar, maka apartemen akan disita, artinya, pemasukan untuk cicilan akan tertutup. Investasi besar-besaran tidak akan mungkin bertahan dalam jangka waktu lama, saat banyak pemilik nakal bertemu dengan investor yang ingin segera menjual apartemennya, maka masalah baru muncul.

Harga apartemen hasil sitaan pemilik nakal akan dijual dengan harga murah. Investor mau tidak mau menyesuaikan harga properti mereka seperti harga apartemen sitaan. Semakin banyak yang dijual semakin berkurang nilai apartemennya. Apalagi tren pertumbuhan untuk kepemilikan properti bukan lagi sebagai tempat tinggal tapi investasi.

Semua orang akan berfikir sama dan ribuan orang berencana menjual properti mereka, berharap suatu hari permintaan semakin tinggi. Di titik inilah, kehancuran bisnis properti melanda Amerika. Dampaknya melebar kemana-mana, termasuk sektor perbankan. Siklusnya mungkin sudah bisa kita tebak, bank-bank bangkrut, kredit macet, dan berimbas pada sektor ekonomi lainnya. Kejatuhannya akan menyebabkan kebangkrutan di bidang lain, termasuk biaya hidup di kota Jogja yang ikut melambung tinggi.

Peraturan terbaru Bank Indonesia yang mengatur batasan loan to value untuk sektor kredit properti mestinya bisa memperkecil kemungkinan bubble dan kredit macet lainnya. LTV membatasi besaran pinjaman yang diberikan kepada pengembang dengan menghitung potensi riil penjualan unit. Saya lihat pasar di Yogya begitu menggiurkan untuk skeotr properti, hanya saja tidak begitu yakin permintaannya sebesar yang diprediksi. Kita lihat, tiga atau lima tahun mendatang apakah para pengembang berhasil meraup penjualan sesuai target, atau justru menamah ruwet stabilitas sistem keuangan dengan potensi masalah baru.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun