Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tidak Baper di Dunia Kerja adalah Skill di Atas Rata-rata

20 Juli 2022   07:52 Diperbarui: 21 Juli 2022   13:45 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi baper dan berbagai pengalaman perundungan di tempat kerja nyatanya memang bisa memicu job stress. (Ilustrasi: Pexels/energepic.com)

Suatu hari Ana dimarahi (ditanya agak ketus plus menyimpulkan sepihak) oleh manajer SDM di tempat kerjanya Hanya karena Ana tidak tahu keberadaan supervisornya setelah jam makan siang, dia mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan lewat kata-kata dan juga ekspresi wajah yang berhasil membuat Ana tertekan dan kesal dengan supervisornya. 

Kekesalannya beralasan karena ternyata supervisornya ternyata bolos kerja sebelum jam makan siang karena tidak ingin melewatkan salah satu film box office yang sedang tayang waktu itu.

Ada juga kondisi di mana Ana lain yang baru bergabung di perusahaan namun hampir setiap hari harus baper karena kinerjanya yang masih di bawah rata-rata seringkali jadi olok-olokan senior. 

Kondisi ini membuat Ana malas ke kantor dan akhirnya bekerja hanya untuk bertahan mendapatkan gaji bulanan. Gaji didapatkan namun setiap hari juga harus menyiapkan mental menghadapi situasi yang tidak sehat itu.

Pendatang baru di perusahaan tentu pernah mengalami baper di dunia kerja, bahkan di luar kisah Ana tadi pasti masih banyak kondisi tertekan yang dialami pegawai baru di perusahaan atau di kantor-kantor pemerintah. 


Tahun lalu bahkan kejadian miris yang terjadi di tempat kerja sebuah lembaga bergengsi sudah cukup memberikan gambaran jelas betapa dunia kerja tidak semuanya ramah bagi karyawan baru atau perusahaan yang memiliki iklim senioritas. 

Karyawan baru yang tidak mampu dalam waktu singkat beradaptasi, bisa saja menjadi korban perundungan bertahun-tahun karena dianggap sedari awal "mudah dikerjai" oleh senior di divisinya. 

Saya sendiri mungkin termasuk beruntung karena bekerja di konsultan yang kebetulan didominasi pria namun tidak pernah mengalami perundungan atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. 

Sistem hubungan antar karyawan sedari awal memang cenderung kekeluargaan. Baper atau tekanan yang saya alami murni berasal dari beban kerja yang menguras waktu dengan sistem jam kerja yang menurut saya sudah tidak sehat lagi. Hanya saja bukan berarti saya tidak "baper" di tempat kerja. 

Bobot kerja yang sudah masuk kategori kelewatan itu, membuata saya kurang tidur sehingga begitu tiba di kantor dan mendapatkan kondisi kantor yang kotor atau melihat teman seruangan tertawa saja sudah cukup membuat saya tersinggung. 

Artinya baper di tempat kerja bisa terjadi dalam berbagai iklim kerja yang berlaku di perusahaan. Iklim kerja yang bahkan sudah cukup baik sekalipun ternyata masih punya celah membuat karyawannya baper apalagi perusahaan yang iklim kerjanya memang sedari dulu sudah toxic.

Yang berbahaya dari berbagai kasus di kantor yang awalnya adalah perasaan baper, namun karena terjadi terus-menerus hingga menyebabkan depresi.

Sekarang ini saya sudah bekerja dengan tim yang jauh lebih sehat, ada yang berada di bawah naungan studio saya sendiri dan juga yang masih berada di lingkup pemerintahan. 

Kali ini saya mendapatkan tim yang usianya jauh di bawah saya hingga 7-10 tahun. Dari penuturan rekan kerja saya yang masih baru ini saya jadi mulai menyadari betapa perasaan baper atau tertekan itu seolah-olah sudah ada di benak anak baru ini ketika memulai hari pertama kerja. 

Kondisi tertekan ini awalnya adalah karena pengalaman kerja, Meski anak-anak baru ini lulusan luar negeri namun tetap saja merasa minder dan baper karena melihat daftar pengalaman kerja rekan setim mereka. 

Perlu pendekatan khusus untuk membangun kepercayaan diri mereka, karena kondisi seperti ini agak dilematis. Bagi supervisor teguran adalah bentuk profesionalisme namun bagi anak baru lulus tanpa pengalaman teguran itu bermakna macam-macam. 

Selama teguran dan evaluasi tim dilakukan secara objektif bukan menyerang personal hingga berujung dirundung maka evaluasi kerja tersebut tidak perlu direspon berlebihan.

Kondisi baper di atas dan berbagai pengalaman perundungan di tempat kerja nyatanya memang bisa memicu job stress. Perasaan yang dirasakan rekan kerja saya misalnya yang sedari awal sudah panik dan hilang kepercayaan diri sejak awal juga termasuk bagian dari job stress.

Kondisinya agak rentan ketika mendapatkan supervisor dengan kepribadian kuat, cara bicara cukup tegas dan tanpa basa basi mengevaluasi kerja tim. 

Sebagaimana yang terjadi pada saya 7 tahun yang lalu, misalnya. Dengan iklim kantor dan relasi yang sebenarnya baik-baik saja, namun karena bobot kerja yang berat, saya pun bisa dengan mudah mengalami kondisi mudah marah, tersinggung dan akhirnya ada celetukan "kamu kok baper sih".

Orang di sekitar kita tidak akan pernah tahu seberapa stres, panik, atau was-wasnya kita setiap hari karena sedang mengalami job stress. 

Akibatnya adalah di saat suasana hati sedang tidak karuan, lalu "diisengi" teman dengan tujuan guyon saja bisa jadi fatal dampaknya. Artinya di hari yang sama, di jam yang sama dengan rekan kerja lainnya, suasana hati kita belum tentu sama.

Oleh karena itu saat ini saya berusaha mencari tahu latar belakang pendidikan teman-teman saya atau pengalaman kerja sebelumnya dalam bentuk semacam sesi curhat.

Usia teman-teman satu tim saya kali ini, misalnya, cukup jauh. Ini akan menjadi prioritas saya pertama kali untuk beradaptasi dengan mereka. Tahapan berikutnya adalah saya mendekati teman dengan pengalaman kerja panjang namun bukan di bidang yang sedang dikerjakan saat ini.

Kedekatan personal yang saya lakukan adalah berbagi cerita suka duka bekerja, tentang bagaimana kita melewati dan menjadi lebih bijak melihat berbagai kondisi yang menekan psikis.

Perlahan, tim tersebut mulai berjalan seperti roda mesin, perlahan hingga akhirnya menemukan posisi nyaman.

Dalam hal ini meski saya ditunjuk sebagai koordinator, namun saya berusaha bersikap sebagai mentor. Kenyamanan bekerja ini akhirnya membuat teman-teman saya jadi semangat bekerja, tidak pernah telat mengumpulkan materi, hingga akhirnya ada pernyataan bahwa mereka semangat ingin ke kantor karena kangen dengan teman-teman setimnya.

Dampak ini cukup baik, karena performa tim ini akhirnya diakui sebagai salah satu tim terbaik. Saya melihat bahwa menjadi rekan kerja yang baik adalah dimulai dari diri kita sendiri.

Mengevaluasi pengalaman kerja di masa lalu, menerapkan pola mentor yang pas entah dari berbagai sosok yang menginspirasi juga membangun kesadaran untuk saling memahami.

Saya cukup puas dengan kondisi tim saya saat ini dan semakin optimis bahwa dalam enam bulan ke depan, kita menjadi tim terbaik, solid dan mampu melewati berbagai krisis tim yang lazimnya memang seringkali terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun