Anda pernah mendengar pepatah : Disitu bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Pepatah ini berarti kurang lebih, jika kita berada di satu daerah maka kita juga harus menghargai adat istiadat setempat. Pepatah ini menyiratkan kemampuan harmonisasi kita dengan lingkungan sekitar; sekalipun kita punya kemampuan atau ibarat kata punya kekayaan berlebih, akan sia-sia jika kita tidak menghargai sekitar.
Kita ingat ketika para penjajah mendatangi wilayah kita awalnya untuk berdagang, namun lama kelamaan mereka dilingkupi perasaan ingin menguasai. Lalu mereka terlibat pertikaian di berbagai daerah mula-mula soal aturan perdagangan namun kemudian mereka mencampuri hal yang cenderung privat.
Ini bisa kita lihat dengan mengambil contoh perang Diponegoro yang sering juga disebut dengan perang jawa. Perang yang hanya berlangsung selama lima tahun ini benar-benar menguras tenaga dan konsentrasi Belanda hingga mereka menarik kekuatan di Sumatera Barat untuk membantu perang jawa.
Perang yang berakhir dengan ditangkapnya pangeran Diponegoro dan kemudian diasingkan di Makassar ini dikenang Belanda sebagai perang yang sangat menyulitkan dan merugikan. Bagi Yogyakarta dan Jawa umumnya, perang yang berawal dari rasa melecehkan Belanda terhadap pangeran Diponegoro yang memang bukan merupakan putra mahkota kerajaan Yogyakarta, nemun amat dihargai oleh rakyat. Perang ini dimulai karena Belanda berencana membuat jalan melewati makam para leluhur pangeran Diponegoro; satu sikap yang tidak saja kurang hormat namun terkesan secara sengaja berperkara dengan sang Pangeran.
Ini sangat berbeda dengan cara Wali Songo dalam menyebarkan pengaruhnya (baca : menyebarkan agama Islam) di wilayah Jawa. Mereka tidak memakai kekerasan dan mereka menghargai lingkungan sekitar. Mereka menyerap budaya sekitar dan memasukkan ajaran-ajaran islam dalam budaya. Singkat kata mereka menjunjung langit tempat mereka hidup. Dengan cara seperti itu, kita lihat Islam berkembang dengan baik hingga sekarang.
Kisah dan pepatah ini menurut saya penting untuk dicermati para penceramah agama pada masa kini. Islam tidak berkembang dengan cara membenturkan satu sama lain, namun dengan cara damai dan inklusif. Penceramah kini juga tidak perlu mengoimpori umat soal jihad yang salah, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu soal ISIS. Waktu itu banyak orang terpengaruh oleh provokasi dan ceramah-ceramah yang seakan perang adalah jalan terbaik. Namun kita tahu pada akhirnya, warga negara yang berangkat ke sana mendapati kenyataan yang berbeda dengan bayangan semula.
Akhir kata, penceramah bukan menggelorakan intoleransi dan perpecahan di tengah masyarakat. Namun, penceramah harus mengembangkan ajaran dan nilai yang bisa merawat persaudaraan keagamaan dan kebangsaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI