Mohon tunggu...
Ratih Maharani
Ratih Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka Membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filsafat Hidup, Refleksi Diri, dan Benteng Moral dalam Kehidupan Moral

10 September 2025   20:13 Diperbarui: 10 September 2025   20:13 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap perayaan keagamaan sesungguhnya bukan hanya sebuah ritus formal yang diulang dari tahun ke tahun, melainkan juga sebuah cermin dari pergulatan batin manusia dalam mencari keseimbangan hidup. Demikian halnya dengan Pagerwesi, salah satu hari suci dalam tradisi Hindu di Bali yang kerap dipahami sekadar sebagai hari besar keagamaan. Banyak orang mengikuti ritualnya, menyiapkan sesajen, datang ke pura, melafalkan doa, lalu kembali menjalani rutinitas sehari-hari. Secara simbolik, Pagerwesi mengingatkan manusia agar membangun pagar besi dalam dirinya: pagar yang kuat, kokoh, dan tidak mudah runtuh ketika diterpa badai kehidupan. Tentu saja pagar yang dimaksud bukanlah pagar material, melainkan pagar kesadaran moral, spiritual, dan intelektual. Bila kita kaitkan dengan kehidupan modern, makna Pagerwesi terasa semakin relevan. Era digital yang penuh distraksi, arus globalisasi yang membuat kompetisi semakin keras, serta derasnya godaan instan membuat manusia sering kali kehilangan pegangan. Banyak orang pintar tetapi mudah tergelincir karena tidak memiliki pagar moral yang kokoh. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana kita menerjemahkan nilai-nilai Pagerwesi dalam realitas hari ini?

Untuk memahami Pagerwesi, kita perlu menengok akar filosofisnya. Dalam ajaran Hindu dikenal konsep Tri Kaya Parisudha, yaitu berpikir baik (manacika), berkata baik (wacika), dan berbuat baik (kayika). Pagerwesi merupakan momen refleksi atas tiga hal ini. Apakah pikiran kita sudah bersih dari iri, dengki, dan kebencian? Apakah ucapan kita sudah menyejukkan orang lain, bukan melukai? Apakah perbuatan kita sudah membawa manfaat, bukan justru kerugian? Lebih jauh lagi, Pagerwesi juga berkaitan erat dengan Hari Saraswati yang dirayakan sebelumnya. Sebab pengetahuan tanpa pagar moral hanya akan membawa kesesatan. Sejarah dunia penuh dengan contoh di mana kecerdasan tanpa kebijaksanaan justru berujung pada kehancuran, mulai dari penyalahgunaan teknologi, eksploitasi alam secara berlebihan, hingga manipulasi informasi demi kepentingan sempit. Dengan demikian, Pagerwesi sesungguhnya menegaskan bahwa kecerdasan harus selalu dikawal oleh kebajikan.

Bila kita ibaratkan kehidupan modern sebagai sebuah kota besar dengan jalan raya penuh persimpangan, ada banyak jalan menuju kebaikan, namun tidak sedikit pula jalan menuju kebinasaan. Di tengah hiruk-pikuk itu, kita membutuhkan pagar yang membatasi diri agar tidak terseret arus yang salah. Benteng pertama yang harus dibangun adalah pagar pikiran. Di era media sosial, pikiran kita begitu mudah tercemar oleh hoaks, ujaran kebencian, atau perbandingan sosial yang membuat iri. Tanpa pagar yang kuat, kita akan kehilangan kejernihan berpikir. Setelah itu, ada pagar ucapan. Kata-kata memiliki kekuatan besar: ia bisa menyembuhkan, tapi juga bisa menghancurkan. Dalam dunia digital, satu komentar kasar dapat viral dan melukai banyak orang. Pagerwesi mengingatkan kita agar ucapan dijadikan jalan kebenaran, bukan senjata untuk menyakiti. Terakhir, ada pagar perbuatan. Perbuatan adalah buah dari pikiran dan ucapan. Jika keduanya sudah kokoh, maka perbuatan pun akan membawa kebaikan. Benteng moral sejati terlihat dari bagaimana seseorang bertindak di tengah situasi sulit: apakah ia tetap berpegang pada nilai atau tergoda untuk kompromi demi keuntungan sesaat.

Dalam konteks era digital, Pagerwesi dapat dimaknai secara lebih luas. Dunia maya ibarat medan perang tak kasat mata yang bisa membuat kita kehilangan fokus, mudah marah, atau bahkan kecanduan. Pagerwesi bisa menjadi pengingat agar kita membangun pagar kesadaran digital: memilah informasi yang benar, membatasi waktu penggunaan gawai, serta menjaga kesehatan mental. Selain itu, di dunia kerja yang kompetitif, Pagerwesi menuntun kita agar tetap menjaga integritas. Rejeki yang datang lewat jalan curang ibarat besi berkarat, tampak kuat di luar tetapi rapuh di dalam. Tidak kalah penting, Pagerwesi juga relevan untuk mengingatkan manusia agar tidak larut dalam individualisme. Di era ketika banyak orang sibuk mengejar kepentingannya sendiri, Pagerwesi menegaskan pentingnya merawat empati. Benteng sejati bukan hanya melindungi diri, melainkan juga menjaga agar kita tidak melupakan sesama.

Bila dibaca dengan kacamata sosial, Pagerwesi bahkan bisa dipahami sebagai kritik terhadap krisis moral yang melanda masyarakat. Kita sering menyaksikan kasus korupsi, kekerasan, intoleransi, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang sesungguhnya berakar pada runtuhnya pagar moral. Pengetahuan dan jabatan tinggi ternyata tidak menjamin seseorang menjadi bijaksana apabila ia tidak memiliki pagar diri. Dalam konteks Indonesia yang plural, Pagerwesi juga bisa dipahami sebagai ajakan untuk membangun pagar kebersamaan. Perbedaan agama, budaya, atau politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menyerang. Pagar besi yang dimaksud bukan untuk memisahkan, melainkan untuk melindungi dari kebencian yang merusak persatuan.

Selain dimensi sosial, Pagerwesi memiliki dimensi spiritual yang dalam. Dalam keyakinan Hindu, Pagerwesi merupakan peringatan akan perjuangan Dewa Siwa sebagai Sang Hyang Pramesti Guru dalam mengalahkan kegelapan. Kegelapan di sini bukan sekadar musuh eksternal, melainkan simbol dari nafsu, kebodohan, dan keserakahan yang ada dalam diri manusia. Bila direnungkan, setiap orang sejatinya adalah pejuang dalam perang batin. Kita berperang melawan rasa malas, amarah, kesombongan, dan hawa nafsu. Pagerwesi memberi kita amunisi spiritual berupa doa, kesadaran, dan disiplin diri. Dengan demikian, pagar besi tidak hanya sebuah metafora sosial, tetapi juga realitas batin yang harus dijaga setiap saat.

Tantangan besar berikutnya adalah bagaimana nilai Pagerwesi bisa menjadi inspirasi dalam pendidikan generasi muda. Salah satu krisis terbesar bangsa adalah mendidik anak-anak yang cerdas sekaligus berkarakter. Pagerwesi memberi pelajaran berharga bahwa ilmu harus dijaga dengan kebajikan, prestasi harus ditemani kerendahan hati, dan kebebasan harus dikawal tanggung jawab. Jika nilai-nilai ini ditanamkan sejak dini, maka generasi muda tidak hanya akan menjadi pintar, melainkan juga bijaksana.

Lalu, mari kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita membangun pagar besi dalam hidup? Ataukah pagar itu masih rapuh dan mudah roboh ketika diterpa ujian? Pagerwesi mengajak kita untuk tidak hanya sibuk membangun pagar rumah atau pagar status sosial, tetapi juga pagar batin. Sebab pagar sejati bukanlah yang terlihat dari luar, melainkan yang menjaga kita dari dalam. Bagi sebagian orang, mungkin Pagerwesi hanyalah sebuah hari yang datang dan pergi. Namun bagi mereka yang mau merenung, Pagerwesi adalah pengingat abadi bahwa hidup ini penuh godaan, dan tanpa pagar besi kita bisa terseret ke jurang kegelapan.

Ia mengingatkan kita bahwa pagar moral lebih penting daripada pagar beton, pagar spiritual lebih kokoh daripada pagar besi, dan pagar kasih sayang lebih abadi daripada pagar status sosial. Maka, marilah kita rayakan Pagerwesi bukan hanya dengan sesajen, tetapi juga dengan kesadaran baru untuk membangun benteng diri yang tidak mudah runtuh.

Selain sebagai renungan filosofis, Pagerwesi juga dapat kita temukan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Misalnya dalam dunia pendidikan, sering kali kita menemukan anak-anak yang cerdas dalam hal akademik, tetapi kesulitan mengendalikan emosi atau menghargai orang lain. Di sinilah Pagerwesi dapat dijadikan pedoman: bahwa kecerdasan yang sejati bukan sekadar kemampuan menghafal rumus, tetapi juga kemampuan membangun pagar diri agar tidak sombong, tidak meremehkan, dan tetap rendah hati dalam berinteraksi dengan teman. Guru dapat menjadikan nilai Pagerwesi sebagai bahan refleksi bersama siswa, sehingga kelas tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga arena pembentukan karakter.

Dalam dunia kerja, contoh lain dapat kita lihat pada praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang masih marak terjadi. Banyak di antara mereka yang terlibat adalah orang berpendidikan tinggi, bahkan menduduki jabatan penting. Namun pagar moral yang rapuh membuat mereka mudah tergoda oleh keuntungan instan. Jika nilai Pagerwesi dipahami dan dihayati, maka pagar integritas akan menjadi benteng kuat yang tidak mudah diruntuhkan oleh godaan materi. Dalam kehidupan digital sehari-hari, Pagerwesi juga bisa menjadi kompas moral. Kita sering melihat pertengkaran di media sosial yang berawal dari perbedaan pandangan kecil. Bila setiap orang menempatkan ucapan dalam pagar kebijaksanaan, tentu media sosial tidak menjadi ladang konflik, melainkan ruang berbagi gagasan. Dengan demikian, Pagerwesi mengingatkan kita bahwa dunia modern yang serba cepat justru membutuhkan pagar diri yang semakin kokoh agar manusia tidak kehilangan arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun