Seandainya Pram adalah mahasiswa generasi milenial  yang kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Gorontalo. Ia pasti masuk dengan semangat tinggi, membayangkan kampus sebagai ruang kebebasan berpikir dan tempatnya bertemu gagasan-gagasan besar. Namun, yang ia temui justru tembok tinggi pembungkaman.
Di UBM, kritik bukan dijawab dengan argumen, tapi dengan ancaman. Mahasiswa yang berani bersuara dipanggil rektorat, diintimidasi, bahkan di-DO. Kampus ini lebih mirip perusahaan keluarga ketimbang lembaga akademik segala kebijakan dibuat bukan demi mahasiswa, melainkan demi keuntungan segelintir orang.
Suatu hari, mungkin Pram membaca berita tentang seorang mahasiswa yang di-DO hanya karena mempertanyakan biaya kuliah yang terus naik. Ia melihat kawannya diskors karena ikut organisasi yang tidak disukai pihak kampus. Ia mendengar cerita mahasiswa lain yang handphone-nya diperiksa secara ilegal oleh pihak rektorat hanya karena komentar di media sosial.
Pram tahu, jika ia diam, ketidakadilan ini akan terus berlangsung. Maka, ia memutuskan untuk bertindak.
Bukan dengan demonstrasi di gerbang kampus yang dijaga ketat, tetapi dengan petisi. Suaranya tidak bisa dibungkam jika sudah menggema di seluruh penjuru internet. Ia menulis tuntutannya, membagikannya ke teman-temannya, dan dalam hitungan jam, ribuan tanda tangan mulai bermunculan.
"Kampus bukan penjara. Mahasiswa bukan objek eksploitasi. Kita punya hak untuk berpikir, bersuara, dan menuntut keadilan. Jika kita diam, maka kita menyerahkan masa depan kita pada ketidakadilan yang dibiarkan."
Kini, petisi itu ada di hadapanmu. Pram sudah menandatangani. Ribuan lainnya mengikuti.
Sekarang, giliranmu.
Bantu suarakan perlawanan terhadap kampus yang sewenang-wenang!
Tandatangani petisi sekarang:Â https://chng.it/SH6b7dhSbp