Sekapur sirih
Di suatu negeri yang katanya menjunjung tinggi kebebasan akademik, berdirilah sebuah institusi pendidikan tinggi. Dari luar, bangunannya megah, jargon-jargonnya penuh semangat: "Mencetak Generasi Unggul," "Membangun Masa Depan," dan slogan-slogan lain yang terdengar manis di brosur penerimaan mahasiswa baru.
Namun, ketika kita melangkah masuk lebih dalam, suasananya lebih mirip dengan pabrik ketimbang universitas. Mahasiswa datang, duduk manis di kelas, mengisi lembar ujian, dan setelah empat tahun dalam keadaan steril dari kebisingan organisasi dan gerakan sosial mereka keluar dengan selembar ijazah. Selamat, Anda resmi menjadi produk siap edar di pasar kerja!
Tentu saja, pabrik yang baik harus punya standar produksi. Tidak boleh ada suku cadang yang berbeda, tidak boleh ada yang terlalu menonjol, apalagi berisik. Oleh karena itu, bagi mereka yang mencoba berpikir di luar jalur produksi, sanksi sudah menanti.
Di Universitas rasa pabrik ini, mahasiswa yang berani mengajukan pertanyaan "kenapa" dianggap sebagai gangguan. Mahasiswa yang ingin berorganisasi di luar jalur resmi kampus dianggap sebagai pemberontak. Dan yang lebih ironis, mahasiswa yang kebetulan mendapatkan beasiswa dari negara malah dipasung lebih ketat.
"Tugasmu hanya belajar, bukan berorganisasi," kata para mandor akademik.
"Fokus saja kuliah, jangan macam-macam," tambah supervisor moral.
Mereka lupa bahwa manusia bukan sekadar mesin pengolah teori dan penghafal modul perkuliahan.
Penjara Intelektual?
Dulu, orang datang ke universitas untuk belajar dan menemukan identitas intelektualnya. Hari ini, mereka datang untuk dicetak dalam satu cetakan seragam.