Mohon tunggu...
narablog
narablog Mohon Tunggu... opini | mahasiswa

dikelola oleh harun alulu

Selanjutnya

Tutup

Politik

satu kabinet dipimpin dua presiden

23 Februari 2025   18:19 Diperbarui: 23 Februari 2025   18:19 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar tempo

Di negeri ini, absurditas telah menjelma menjadi kenyataan. Ada presiden yang bukan presiden, ada wakil yang bukan wakil. Dari istana ke istana, dari podium ke podium, gema suara sang presiden baru mengguncang tanah air. "Hidup Jokowi!" serunya, sementara di jalanan, pekikan lain membahana, "Adili Jokowi!" Ironi macam apa ini? Seorang presiden yang tugasnya menata masa depan malah sibuk meneriakkan nama pendahulunya. Apakah ini sinyal bahwa ia sekadar bayang-bayang dalam panggung kekuasaan? Ataukah ini deklarasi tersirat bahwa yang berkuasa sejatinya tetap yang lama?


Mereka bicara tentang efisiensi anggaran, seolah itu mantra ajaib yang bisa menyulap kebocoran anggaran, Tapi kenyataan di lapangan berkata lain: bukan efisiensi, melainkan pemangkasan brutal. Anggaran pendidikan dikerdilkan, subsidi rakyat dikikis, sementara kabinetnya gemuk dan fasilitas pejabat tetap buncit. Jika kecerdasan bisa diukur dari cara negara mengalokasikan anggarannya, maka kita sedang diperintah oleh logika yang kelaparan. Mungkin, bagi mereka, perut yang kenyang lebih penting daripada otak yang cerdas.

Dan lihatlah kabinet yang mereka bangun: gemoy, tambun, obesitas! Seperti orang yang terus makan tapi malas bergerak, penuh dengan kursi-kursi empuk untuk para loyalis yang tak ingin turun dari panggung. Jika tubuh yang terlalu gemuk bisa memperlambat langkah, maka kabinet yang terlalu besar justru memperlambat bangsa. Apa gunanya efisiensi anggaran jika birokrasi tetap gemuk dan larinya tetap lamban?

inilah negeri yang kita hadapi hari ini: negeri yang para pemimpinnya lebih fasih meneriakkan nama sesepuhnya ketimbang membangun masa depan. Negeri yang rakyatnya diminta berhemat, sementara pemimpinnya berpesta. Negeri yang demokrasi dipertontonkan seperti sandiwara, dengan babak yang sudah ditentukan, aktor yang sudah dipilih, dan akhir cerita yang sudah bisa ditebak: rakyat tetap meratap, penguasa tetap menari.

Hidup rakyat? Atau hidup jokowi? Ah, mungkin jawaban yang benar adalah: Hidup Jokowi!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun