Mohon tunggu...
Rasyid FakhriYoriputra
Rasyid FakhriYoriputra Mohon Tunggu... UPN 'Veteran' Yogyakarta

saya merupakan mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan di UPN 'Veteran' Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tambang Nikel Raja Ampat: Kemajuan Industrialisasi atau Kemunduran Berpikir?

24 Juni 2025   19:03 Diperbarui: 24 Juni 2025   19:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Raja Ampat merupakan surga di Indonesia timur Nusantara yang telah diakui dunia dan ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Dijuluki sebagai "The Emerald Karts in the Equator", wilayah ini dikenal luas karena keindahan alam dan kekayaan biodiversitas lautnya yang luar biasa (UNESCO, 2023). Namun, dibalik pesona alam yang memikat, Raja Ampat juga menyimpan sumber daya logam nikel sebesar 3,84 juta ton (Ahdiat, 2025). Potensi inilah yang kemudian menarik aktivitas eksploitasi melalui kehadiran industri pertambangan oleh PT. GAG Nikel, yang beroperasi sejak 30 September 2017 berdasarkan izin operasi produksi melalui SK No. 430.K/30/DJB/2017 (Parandaru, 2025). Apakah masuknya industri pertambangan nikel ke Raja Ampat ini merupakan kemajuan atau justru kemunduran kemampuan berpikir dalam menata masa depan yang berkelanjutan?

Industri Electric vehicle (EV) saat ini terus berkembang pesat dibawah semangat transisi menuju green economy. EV dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil, melainkan listrik sebagai sumber energi utama. Listrik dinilai lebih bersih karena tidak menghasilkan emisi gas buang yang berkontribusi pada gas rumah kaca di bumi (Unairnews, 2024). EV menggunakan baterai Lithium-ion yang menggunakan nikel sebagai bahan baku utamanya. Seiring dengan pesatnya perkembangan EV, produksi baterai Lithium-ion juga semakin banyak sehingga permintaan akan nikel semakin meningkat. Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, dipandang memiliki posisi strategis dalam rantai pasok global (Taufiqurrahman, 2023). Dalam konteks ini, keberadaan tambang nikel di Raja Ampat dipandang oleh pemerintah sebagai peluang besar untuk menjawab kebutuhan industri EV dunia dan memperkuat peran Indonesia dalam ekonomi energi masa depan (UNESA, 2025).

Kehadiran industri pertambangan memang dapat membuka lapangan pekerjaan, menarik investasi asing, dan meningkatkan penerimaan negara melalui ekspor nikel. Hal ini tentu dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perekonomian global yang tengah bertransisi menuju green economy. Namun, bagaimana nasib sektor pariwisata Raja Ampat yang selama puluhan tahun telah menjadi andalan ekonomi masyarakat lokal? Aktivitas pertambangan hampir pasti meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang bertahan lama, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan ekosistem dan dapat menghapus julukan Raja Ampat sebagai "The Emerald Karst in the Equator."

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dengan bangga menyatakan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan di Pulau Gag, yang berjarak sekitar 30--40 kilometer dari kawasan wisata utama Raja Ampat, yakni Pulau Piaynemo (Dhanya, 2025). Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran. Pertambangan dilakukan di wilayah laut, sehingga jarak sejauh itu sama sekali tidak menjamin keamanan ekologis. Dampak eksternalitas seperti pencemaran, sedimentasi, dan gangguan ekosistem laut dapat menyebar jauh melampaui radius tersebut. Selain itu, lalu lintas kapal pengangkut hasil tambang menimbulkan risiko tambahan, seperti kebocoran muatan atau tumpahan limbah, yang berpotensi merusak habitat laut. Lebih penting lagi, meskipun Pulau Gag memang berjarak 30--40 kilometer dari Piaynemo, jaraknya ke batas terluar kawasan taman wisata Raja Ampat hanya sekitar 5 kilometer. Fakta ini menambah keraguan terhadap klaim keamanan jarak tersebut. Di sisi lain, eksploitasi di Pulau Gag juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang seharusnya melindungi kawasan seperti ini dari aktivitas ekstraktif yang merusak.

Industrialisasi yang dijalankan pemerintah sejatinya belum mencerminkan konsep industrialisasi yang berkelanjutan, karena justru merusak basis hidup dan keberlangsungan masyarakat lokal. Investasi yang diharapkan datang serta pendapatan dari ekspor nikel sebagian besar dinikmati oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal, sementara masyarakat lokal hanya menerima manfaat yang sangat terbatas. Hal ini kontras dengan sektor pariwisata yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Raja Ampat, di mana perputaran ekonominya langsung dirasakan oleh masyarakat setempat dan memberikan manfaat nyata. Jika pertambangan dianggap sebagai solusi atas kemiskinan, maka seharusnya daerah-daerah penghasil tambang telah menjadi kawasan maju. Namun faktanya, provinsi seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Jambi masih mencatatkan tingkat kemiskinan yang tinggi (CNN, 2024). Oleh karena itu, kemajuan tidak seharusnya diukur semata-mata dari peningkatan Produk Domestik Bruto (GDP), tetapi juga dari kemampuannya mengurangi ketimpangan dan menjamin keberlanjutan bagi generasi masa depan. Sudah seharusnya pemerintah berpikir ulang: apakah kita sedang membangun masa depan melalui industrialisasi, atau justru menggadaikannya demi keuntungan segelintir orang?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun