[caption id="attachment_124688" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-711/Admin (ne.jp)"][/caption] Sesorean hingga malam ini saya masih saja menyempatkan 'kongkow' dengan teman kuliah saya. Dimulai dari makan makanan tradisional yang harganya menjadi dua kali lipat lebih mahal karena ditempatkan di satu buah café sampai dengan minum kopi di café dengan harga tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan di warung kopi biasa sebagai penutup. Ya, saya termasuk salah satu korban gaya hidup kaum urban yang sudah 'addicted' oleh gaya hidup mementingkan suasana tanpa terlalu memusingkan harga. Jelas saat ini hampir 75 persen Homojakartensis sudah berprilaku seperti saya. Preferensi konsumen untuk berpindah-pindah haluan dalam memilih produk pun semakin tinggi. Mulai dari café coffe 24 Jam, Fastfood 24 Jam, bahkan Warkop plus Burjo 24 Jam untuk segmen kelas C ( bawah ). Fenomena ini sangat menarik. Terkait dengan budaya masyarakat yang berubah dimana dahulu masyarakat muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk shopping, maka saat ini adalah era 'kongkow' di cafe. Maraknya cafe 24 jam di bilangan Jakarta yang menawarkan waktu buka sepanjang hari sampai dengan fasilitas WIFI sebagai added value menjadikan pergeseran pola kebiasaan hidup ini semakin cepat. Dua puluh tahun yang lalu, mungkin hanya sebagian orang yang dapat menikmati minum kopi di dalam cafe. Kalau tidak kaum borjuis, maka pengunjungnya adalah kamu intelektual yang memang menggunakan cafe untuk sekedar membaca buku dalam suasana hening dan senyap. Namun seiring berkembangnya waktu, saat ini cafe 24 Jam dapat dinikmati siapa saja. Era internet yang sangat cepat merupakan peluang bagi para pemilik cafe untuk menambahkan satu kriteria dalam pelayanan kepada pengunjungnya. Tidak heran saat ini banyak pengunjung cafe yang datang bukan untuk khusus menikmati kopi yang dijual namun cenderung kepada membeli konsep suasana dan fasilitas dari cafe. Seiring dengan masuknya Starbuck ke Indonesia, maka gaya hidup ini semakin tumbuh di kaum urban. Gerai kopi Starbuck digunakan sebagai tempat singgah dikala terperangkap oleh macetnya Ibukota ataupun sekedar bertemu dengan klien. Belum lagi para pelajar yang menginterpretasikan bahwa " loe bukan anak gaoel kalo belum pernah ke Starbuck ". Sehingga tidak heran pertumbuhan Starbuck di Indonesia semakin menjamur pada waktu 5 tahun yang lalu. Bayangkan saat ini masyarakat urban menjadi tidak terlalu sensitif dengan harga yang ditawarkan oleh Gerai Kopi 24 Jam ! Mahal atau murah yang penting suasananya nyaman. Namun disisi lain hal ini merupakan ancaman bagi para restoran fastfood di Indonesia. Berubahnya konsep fastfood yang salah kaprah di Indonesia yaitu restoran siap saji menjadi tempat 'kongkow' di saat jam makan,  tetap memiliki keterbatasan dalam operational hours. Sehingga pada saat di luar jam tersebut, para konsumen dapat beralih dengan cepat pada cafe 24 jam. Ini mungkin yang menjadi salah satu strategi oleh 7 Eleven sebagai convenience store menjadi tempat untuk 'kongkow'. Di Indonesia sendiri, konsep 7 Eleven dasarnya seperti di Jepang yaitu untuk menyediakan kebutuhan konsumen yang unik dan cepat saji serta pelayanan yang sangat prima. Bedanya adalah budaya orang Jepang untuk disiplin menyebabkan 7 Eleven hanya sekedar tempat untuk makan satu kali waktu dalam durasi yang sangat cepat. Pelayanan yang cepat menjadi sangat prioritas bagi convenience store di Jepang serta dalam hal penyediaan barang dalam harga yang lebih rendah. Sedangkan di Indonesia, harga yang murah ternyata tidak terlihat di gerai 7 Eleven. Konsepnya pun beralih kepada tempat untuk 'kongkow' para anak muda terutama di malam hari. Dengan hanya menikmati satu cangkir kopi, maka 7 Eleven menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak heran jika dalam 6 bulan terakhir ini, gerai 7 Eleven semakin marak. Sasarannya sendiri tentu saja kalangan menengah ke bawah yang notabene hanya ingin 'kongkow' dengan para temannya. Pemilik lisensi 7 Eleven, PT. Modern PutraIndonesia, secara jeli saat ini mulai membidik para mahasiswa sebagai konsumen tetapnya. Hal ini terlihat pada saat tiga bulan yang lalu, gerai 7 Eleven tiba-tiba sudah ada di depan kampus saya di daerah Sahardjo. Padahal kawasan kampus saya bisa dibilang bukan daerah ramai malah cenderung kepada slum area di bilangan Jakarta Selatan. Namun ternyata setelah saya perhatikan, dengan adanya gerai 7 Eleven, daerah kampus saya perlahan-lahan mulai menjadi ramai dan tentunya menarik peminat dari daerah Jakarta Selatan slum Area. Dari segi ekonomi, salah satu ceruk dari pangsa pasar peminum kopi perlahan mulai terambil oleh 7 Eleven. Konsep 7 Eleven yang pada mulanya disejajarkan dengan retail Alfamart ataupun Indomart ternyata berubah seratus delapan puluh derajat di Indonesia. 7 Eleven di Indonesia lebih condong untuk menjadi pesaing kuat bagi restoran fastfood maupun cafe coffe 24 Jam ataupun warungkopi plus Burjo 24 jam. Dan ini tentunya menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi para pemain lama untuk dapat bersaing dengan strategi yang lebih baru dan segar. Analisa bisnis dengan menggunakan five forces framework Porter menjadi menarik untuk dikaji pada kasus 7 Eleven. Analisa pertama tentang internal rival dengan incumbent yang telah exist. Trend pertumbuhan cafe 24 jam di masa yang akan datang masih cenderung meningkat terutama untuk kaum urban di kota besar. Konsentrasi pembeli yang belum terkonsentrasi cenderung kabur dikarenakan konsumen sangat peka terhadap perubahan harga. Ini menyebabkan switching cost akan semakin rendah. Dengan menawarkan suasana yang sama, maka para pemain di industri ini harus jeli terhadap penentuan harga yang diberlakukan kepada konsumen. Seperti pada industri telekomunikasi, permainan harga yang terbuka menjadikan semua pemain berlomba untuk menarik minat konsumen dengan menawarkan harga yang berbeda. Konsep yang diusung pun sama persis pada industri telekomunikasi yaitu membuat masyarakat menjadi addict terhadap gaya hidup 'kongkow'. Ancaman dari pemain baru menjadi analisa yang kedua. Mudahnya izin franchise di Indonesia, membuat para pemain baru dapat masuk dengan cepat dan mudah pula. Terbukti dengan semakin banyaknya gerai 7 Eleven di berbagai tempat di Jakarta sekitar enam bulan terakhir ini. Tempat yang strategis tentu saja masih menjadi pilihan utama. Pemain baru yang menjadikan 7 Eleven sebagai ancaman tentu saja fastfood restoran seperti McDonald dan KFC. Kedua fastfood restoran ini akhirnya pada tahun 2010 mulai untuk membangun konsep baru yaitu McCaffe dan KFC Caffe yang merupakan pesaing bagi 7 Eleven. Namun kekuatan brand dari 7 Eleven sendiri lebih kuat sehingga saya rasa kedua restoran fastfood ini belum cukup mampu menyaingi fenomena gerai 7 Eleven. Mc Caffe dan KFC Caffe tetap hanya sebagai pelengkap dari core business mereka sebagai fastfood restoran khusus untuk ayam goreng dan burger. Yang menarik adalah tentang produk substitusi dan komplementer yang dijadikan bahan analisa ketiga. Semua cafe coffe 24 Jam menawarkan produk komplimenter dan substitusi pada setiap gerainya. Jika 7 Eleven menawarkan makanan murah ala kaki lima ( karena hanya ayam dan burger ), maka Starbuck Cafe menawarkan kue sebagai produk komplementer. Namun Mc Caffe dan KFC Caffe tidak dapat menggunakan kopi sebagai produk komplimenter maupun subtitusi bagi ayam goreng maupun burger. Bahkan saya pikir rasa kopi yang ditawarkan oleh kedua fastfood restoran masih jauh dibawah rasa kopi yang ada di Starbuck, Coffe Bean ataupun Black Canyon. Supplier sebagi mata rantai yang berada di hulu mempunyai posisi yang penting dalam sebuah industri. Analisa yang keempat menitikberatkan pada kekuatan dari supplier. Cafe Coffe tentu saja sangat bergantung pada supplier kopi. Supplier kopi mempunyai kekuatan yang sangat besar apalagi ketika kopi tertentu menjadi favorit bagi konsumen. Harga yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh konsumen, tentu saja membuat para supplier kopi punya kekuatan yang tinggi dalam penentuan harga kepada buyer. Contract Agreement menjadi pilihan yang tepat dikarenakan pembelian volume kopi yang besar. Nilai plus dari agreement ini adalah tidak terkenanya dampak kenaikan harga manakala harga kopi melambung tinggi. Sedangkan nilai minusnya adalah pembelian yang harus menggunakan MOQ ( minimal order quantity ) akan merugikan apabila ternyata demand tidak dapat memenuhi MOQ. Namun secara general, agreement ini lebih kecil resikonya dibandingkan dengan onspot transaction, terutama terhindarnya dari resiko ketidaktersediaan barang pada waktunya. Analisa terakhir dari five forces ini adalah kekuatan buyer/pembeli. Preferensi konsumen terhadap produsen masih sangat mudah berubah. Impact-nya adalah switching cost yang sangat rendah. Strategi yang harus dilakukan oleh para pemain cafe coffe 24 Jam adalah differensiasi produk yang terkait dengan kualitas. Kualitas di sini lebih menekankan pada cita rasa unik yang sesuai dengan selera serta added value lain yang dapat diberikan pada konsumen. Termasuk didalamnya suasana cafe maupun pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Harga menjadi salah satu kekuatan yang dominan dalam menarik konsumen. Sehingga ilmu ekonomi mengatakan bahwa price elasticity menjadi sangat tinggi dimana persaingan akan semakin sehat dan terbuka. Sehingga jika dicermati fenomena 7 Eleven ini menyebabkan semakin menggeliatnya industri bisnis gerai kopi di Indonesia. Gaya hidup menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap industri ini. Nah, pada akhirnya tergantung kacamata dari para produsen untuk menganggap ini sebagai peluang atau ancaman. Saya sebagai konsumen hanya berharap bahwa maraknya gerai kopi 24 jam dapat memberikan hal yang positif bagi penikmat kopi dan penyuka budaya 'kongkow'.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI