Mohon tunggu...
Rappi Darmawan
Rappi Darmawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - saya pekerja baik-baik

punya seabrek cita-cita, belum taat beribadah, ingin memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini Bukan Keluh Kesah

27 Februari 2020   10:43 Diperbarui: 27 Februari 2020   10:53 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zebra Cross, bagian jalan yang dibuat untuk pejalan kali menyeberang. Foto : K Aris

Iba. Tidak perlu, saya tidak sedang bercerita tentang kesedihan. Ini kisah kebahagian seorang ayah yang baru menemukan jalan terang nan landai. Tidak ada jalan mendaki, sehingga harus mengeluarkan energi ekstra. Tidak juga ada turunan, yang membuat was-was atau pun tikungan patah patah.

Saya begitu menikmati perjalanan ini. Meskipun jalannya terang dan landai, saya tidak boleh tancap gas agar lebih cepat sampai ke peraduan. Pelan-pelan saja. Ahhhh, seperti syair dalam lagu cinta.

Perjalanan ini harus dinikmati. Hutan lebat disisi kiri dan kanan jalan. Pohon pohon tua nan kokoh, daun daunnya yang rindang menghalau sinar matahari. Tidak terasa terik. Adem sekali, angin juga tidak bisa leluasa berhembus, yang ada hanya sepoi sepoi.

Hamparan padi yang mulai menguning, menambah kenyakinan panen segera tiba. Lumbung penuh terisi gabah. Kebutuhan beras cukup hingga musim panen berikutnya.

Saya jadi ingat, ketika masih tinggal di desa dulu. Warga desa bergotong royong untuk panen padi. Bergantian. Dari warga satu ke warga lainnya. Tentram sekali. Nyaris tidak ada khawatir panen tidak dapat diselesaikan.

Dulu, kehidupan di desa seperti itu. Setiap rumah punya lumbung atau ruangan khusus dibawah rumah panggung untuk menyimpan gabah. Ketika stok beras menipis warga tinggal menjemur gabah yang disimpan dalam lumbung kemudian digiling ke pabrik. Simpel sekali.

Maaf ya, saya tidak perlu dipeluk. Tidak sedang kedinginan. Saya menyadari ini adalah cara Allah membuka hati dan pikiran bahwa kesuksesan dunia tidak lebih besar manfaatnya.

Dulu iya, saya ingin sekali bisa memakai dasi dan jas. Memimpin sebuah rapat penting. Peserta rapat mengangguk kagum dengan pidato yang saya sampaikan.

Tepuk tangan bergemuruh. Semua orang berdiri dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Baik laki laki maupun perempuan. Disanjung, dielu-elukan. Itu keinginan masa lalu hasil pendidikan yang terlalu materialistis.

Betulkan, pendidikan yang terlalu materialistis. Saya ingat dulu, ketika ditanya cita-cita, harus menyebut profesi, kedudukan yang tinggi, mulia dimata manusia dan terpandang. Jadi bupati, presiden, manajer, sekretaris.

Kalau ada yang tidak bisa menjawab atau menyebutkan profesi yang tidak wah, dianggap bodoh. Ingat cita cita itu harus setinggi langit. Meskipun secara matematis tidak sangat sulit dicapai, menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya dihukumi wajib. Ya, dipaksa, terpaksa. Tak tahulah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun