Mohon tunggu...
Ranto Sibarani SH MH
Ranto Sibarani SH MH Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara/Penasehat Hukum

Ranto Sibarani, S.H., M.H. adalah seorang Advokat/Pengacara yang saat ini juga aktif menjadi Pengurus di Peradi Medan, organisasi advokat yang Ketua Umumnya adalah Prof. Otto Hasibuan. Magister Hukum lulusan Universitas Islam Sumatera Utara ini pernah juga belajar di Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2015. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, Ranto Sibarani juga pernah sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara selama 4 (empat) Tahun yaitu periode Tahun 2015 sampai 2019. Ranto Sibarani adalah seorang advokat dan aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Medan, Sumatera Utara. Ia dikenal karena menangani berbagai kasus yang menyentuh sisi kemanusiaan dan sosial, termasuk: • Kasus ibu digugat anak kandung: Ia menjadi sorotan publik saat membela seorang ibu yang digugat oleh tiga anak kandungnya terkait harta warisan di Kabupaten Humbang Hasundutan. • Kasus seorang perempuan yang dituduh menista agama di Tanjung Balai, Meliana, seorang wanita muda keturunan Tionghoa yang beragama Buddha, menjadi terpidana penistaan agama setelah mengeluhkan volume suara azan yang lebih keras dari biasanya. • Pembela aktivis anti korupsi: Ia juga pernah mendampingi Ahmad Rezky Hasibuan, seorang aktivis yang ditahan karena menyuarakan dugaan korupsi di Padang Lawas. Latar belakang aktivisme: Sebelum menjadi advokat, Ranto aktif dalam pendampingan masyarakat miskin kota dan konservasi lingkungan hidup, terlibat dalam kegiatan kemanusiaan pasca tsunami Aceh, yaitu menjadi Pimpinan Organisasi Non Pemerintah (Non Government Organisation) KOTIB atau Komunitas Indonesia Baru, yang aktif memberikan pendidikan dasar ak Asasi Manusia dan pengembangan sumber daya manusia bagi korban bencana di Aceh, Nias dan Sumatera Barat Pendidikan dan peran publik: Ia menyelesaikan pendidikan Diploma Tiga (D3) jurusan Teknik Mesin di Universitas Negeri Medan pada tahun 2002, kemudian menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (S1) di Universitas Darma Agung tahun 2014, menempuh studi Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara pada tahun 2015, dan menyelesaikan pendidikan Magister Hukum (S2) di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Ranto Sibarani juga berkomitmen tiggi dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM): Selama lebih dari 10 tahun, ia terlibat dalam KontraS Sumut, sebuah lembaga yang fokus pada korban kekerasan dan orang hilang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK Lemah, Bandit Bersatu di Tengah Kisruh KPK-Polri?

27 Juni 2015   10:04 Diperbarui: 21 April 2016   10:10 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kpk vs polri"][/caption]

Kisruh KPK-Polri pada era Jokowi Presiden sungguh suatu hal yang tidak terduga sebelumnya. Berawal pada tanggal 12 Januari 2015, Presiden Jokowi mengirim nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri untuk mengikuti fit and proper test di DPR RI. Kritik langsung menghujani Presiden yang fenomenal tersebut. Beberapa argumen kritik saat itu menyebutkan Presiden tidak melibatkan KPK dan PPATK sebelum mengusulkan nama Komjen Budi ke DPR. Puncaknya sehari kemudian, tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut. Setelah itu, kisruh KPK-Polri ini bergulir dengan cepat dan tentu saja bergerak kesana kemari sesuai dengan kepentingan penggeraknya masing-masing.

Sebagai pengamat, kita tentu bisa dengan mudah menduga bahwa Jokowi sedang menggunakan institusi terkait untuk menanggapi pencalonan Budi Gunawan. Bisa saja Jokowi sedang mendapat tekanan dari Partai tertentu untuk mencalonkan BG sebagai Kapolri sebagaimana dugaan banyak pihak. Dugaan ini tentulah wajar sekali, karena sebagai Presiden yang maju dengan dukungan partai politik Jokowi tidak akan mungkin lepas dari belenggu relasi mutualisme politik, saling menguntungkan. Meskipun diakui relawan adalah bagian penting dari kemenangan Jokowi, namun dalam ritme politik, relawan hanyalah pemain amatiran, yang hanya dihitung di bilik-bilik suara, dalam bentuk yang lebih maju relawan akan bergerak saat keyakinan politiknya bermuara pada gerakan.

Namun, bukan Jokowi namanya kalau tidak pintar berpolitik demi kepentingan rakyat, hal inilah yang membuat relawan mau bekerja tanpa pamrih untuk Jokowi. Meskipun kita menduga-duga bahwa BG adalah “titipan” partai politik, Jokowi tetap merekomendasikannya kepada DPR-RI, dengan keyakinan bahwa apa yang terbaik akan dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat tersebut. Saat itu, Jokowi bisa saja sedang yakin bahwa DPR RI akan menolak BG, dengan demikian dia akan mencalonkan calon Kapolri yang relatif bersih dan bukan “pesanan”. Dalam situasi tersebut, sebagai lembaga yang harus ikut menjaga semangat anti korupsi, KPK dengan kecepatan super kilat mengeluarkan status tersangka kepada BG, dengan dalih rekening gendut. Sehingga dugaan kita bahwa DPR RI akan menolak BG semakin masuk akal, sampai disitu kita yakin Jokowi melakukan manuver politik yang luar biasa. Namun, ada juga yang menyebut pencalonan BG pada saat itu hanyalah cara Jokowi merebut hati sang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati, yang konon katanya tidak mau lagi bertemu dengan Jokowi paska isu "three musketeers" disekeliling Jokowi.

Benarkah keputusan KPK menetapkan BG sebagai tersangka terkait rekening gendut adalah suatu hal yang dipaksakan dan merupakan tindakan super cepat? Uppst, nanti dulu, pertanyaan tersebut dengan mudah dimentahkan.  Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam suatu konferensi pers mengatakan bahwa surat PPATK tanggal 26 maret 2010 dikirimkan ke kepolisian, selanjutnya ada surat balasan Bareskrim pada tanggal 18 juni 2010 mengenai pemberitahuan hasil penyelidikan atas transaksi mencurigaan atas nama Irjen BG. Menurut Bambang, awalnya KPK mendapat informasi transaksi mencurigakan dari masyarakat. Artinya, KPK sudah bekerja sejak tahun 2010 untuk mendalami dugaan rekening gendut tersebut. Jika kemudian KPK menetapkan status tersangka saat Presiden Jokowi merekomendasikan BG sebagai Kapolri, tentulah itu suatu langkah yang wajar bagi pimpinan KPK, karena tidak menginginkan orang yang terkait rekening gendut akan menjadi Pimpinan Kapolri, institusi yang semestinya memberantas korupsi.

Bersatunya para bandit?

Keingintahuan publik terhadap proses fit and proper test DPR RI terhadap calon Kapolri BG sangat luar biasa. Bagaimana tidak, DPR RI yang sudah kita ketahui mayoritas tidak menyukai Jokowi dan sebelumnya juga telah  membangun  koalisi abadi yang sering dijuluki “koalisi melawan presiden”. Paska Pilpres, kita telah mengetahui peta politik di DPR RI terbagi dalam dua kubu, Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) sebelumnya pendukung Prabowo calon presiden dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Kedua kubu ini  terus  berseteru dalam sidang-sidang di MPR. 

KMP jumlahnya lebih besar yaitu 353 kursi atau 63% jika digabungkan dengan Fraksi Partai Demokrat. Sementara itu kekuatan KIH adalah 207 kursi atau 37% dari sebanyak 560 anggota DPR RI. Dapat dipastikan KMP akan  selalu memenangkan perseteruan dalam voting di MPR. Sebagaimana kita ketahui, MPR adalah lembaga legislatif Bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD, jumlah anggota DPR 560 orang, sementara jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang sehingga total jumlah MPR adalah 692 orang.

Pecahnya dua kubu DPR ini telah terbukti sebelumnya, KMP selalu solid dalam mempertahankan tujuan politiknya. Kemenangan demi kemenangan diraih oleh KMP di DPR, tidak tanggung-tanggung 5 kemenangan telah diraih oleh KMP paska Pilpres, diantaranya adalah pertama pada saat pengesahan UU MD3 yang menyebutkan pemilihan pemimpin parlemen tidak didasarkan pada pemenang Pileg, melainkan berdasarkan paket. Kedua Pengesahan Tatib. Ketiga UU Pilkada melalui DPRD, yang mengatur bahwa pemilihan Kepala Daerah tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD. Keempat pemilihan pemimpin DPR yang diketuai oleh Setya Novanto dan empat wakil ketua yaitu Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) dan yang kelima adalah penentuan pemimpin MPR dalam lima tahun ke depan, semua diborong oleh KMP.

Dengan analisis diatas, dapat dipastikan DPR RI akan menolak calon Kapolri tunggal yang direkomendasikan oleh Presiden Jokowi tersebut, dengan asumsi bahwa apa yang direkomendasikan oleh Jokowi akan selalu ditolak oleh KMP. Ditambah lagi KPK sudah menetapkan calon tunggal tersebut sebagai tersangka terkait rekening gendut. Publik dan pendukung Jokowi, terutama relawan, sangat yakin bahwa DPR RI akan menolak calon tersebut. Berita ini santer menjadi headline di media cetak dan elektronik nasional. Namun, apa yang terjadi berikutnya sangat mengejutkan publik. DPR RI yang tidak pernah senada dalam memutuskan beberapa agenda paripurna sebelumnya tiba-tiba berubah posisi.

DPR RI dengan proses yang cepat dan pasti langsung memproses Komjen Budi Gunawan usulan Presiden Jokowi, semua anggota DPR kompak menyetujui Komjen Budi jadi Kapolri. Nama Komjen Budi mulus di paripurna pada tanggal 15 Januari 2015. Semua fraksi mendukung, kecuali Partai Demokrat yang menolak Komjen Budi jadi Kapolri. Keanehan baru muncul, KMP dan KIH tiba-tiba bisa bersatu mendukung usulan Jokowi. Keanehan lain, banyak politisi dari partai pendukung Jokowi tiba-tiba mengeluarkan statement sinis terhadap kinerja Jokowi dan kabinetnya, menuduh bahwa Jokowi mempekerjakan orang kurang umur dalam kabinetnya, mungkinkah para bandit sedang bersatu dalam merespon konflik KPK-Polri ini? Kita boleh menjawabnya sesuai dengan keyakinan politik kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun