Bagaimana jadinya jika film dongeng masa kecil kita. Yang selalu digambarkan dengan indah dan selalu berakhir bahagia. Menjelma menjadi mimpi buruk yang mengerikan. Namun, sebenarnya menampilkan realitas yang ada. Â Hal itulah yang akan disampaikan oleh Emilie Blichfeldt melalui film garapannya yang berjudul The Ugly Stepsister.
Mengambil sudut pandang saudari tiri Cinderella bernama Elvira. Film ini berhasil menampilkan realitas standart kecantikan yang mebebani kaum wanita. Meskipun mengambil latar pada abad-19. Pesan yang disampaikan dalam film ini masih cukup relate di zaman modern ini. yang dimana, Para wanita berlomba-lomba untuk tampil cantik agar dianggap layak oleh masyarakat. Mereka rela melakukan segala cara tanpa peduli dengan bahaya yang mengintai nyawa mereka. Yang mungkin akan menimbulkan kesengsaraan dan rasa sakit  berjangka panjang.
Standar kecantikan tidak semat-mata karena pilihan invidual tersebut. Namun tuntutan sosial yang selalu ditanam dan diperkuat oleh berbagai banyak pihak. Dan mirisnya, masih ada beberapa kaum wanita inilah yang mengagungkan soal standar kecantikan yang tidak semestinya berlaku.Â
Dalam film The Ugly Step Sister ini. Ibu Elvira lah diantaranya. Elvira diperintahkan untuk operasi hidung, menjahit bulu mata palsu yang dimana proses itu sangat menyakitkan bagi elvira, mengingat pada zaman itu praktik kedokteran dan bedah juga masih belum semumpuni sekarang.
Dari sini, Film ini menyoroti bagaimana penderitaan perempuan sering dianggap wajar atau wajib demi terlihat "layak." Dan Elvira adalah salah satu korbannya. Demi menyempurnakan bentuk tubuhnya. Ia juga nekat meminum pil cacing (tapeworm) agar tubuhnya dapat tetap kurus meskipun ia makan dengan porsi yang besar. Dalam adegan ini dapat kita lihat bahwasanya. Standar kecantikan bukan hanya soal selera pribadi, tapi lebih kepada tekanan sosial yang menuntut perempuan untuk selalu tampil sesuai dengan citra yang ideal.
Inilah yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni dalam bentuk kekuasaan yang tidak tampak, tetapi bekerja melalui nilai dan norma yang dianggap wajar. inilah bentuk hegemonik yang paling licin ketika masyarakat (terutama perempuan) secara sukarela tunduk pada norma dominan karena sudah dianggap hal yang lumrah. Dalam hal ini. Ibu Elvira, merupakan gambaran agen patriarki yang sudah menyerap dan mempercayai praktik tersebut. Ini jadi pengingat bahwa norma patriarkis bisa datang dari siapa saja, bahkan perempuan terhadap perempuan sekalipun.Â
Pengambilan visual pada film ini juga patut diacungi jempol. Melalui kengerian tubuh yang intens, tiap adegan yang disajikan membuat kita merasakan secara langsung penderitaan yang dirasakan oleh tiap pemerannya. Hal ini juga merupakan bentuk kritik tajam terhadap nilai mematikan dari kecantikan.
Pesan dari film ini sangat emosional dan konkret. Dunia modern tidak jauh berbeda dari iklan, media sosial, dan iklim budaya yang terus-menerus menekan kita dengan definisi kecantikan yang sempit. Tanpa pemikiran kritis dan kekuatan. Banyak wanita seperti Elvira, akan mengalami penderitaan fisik dan emosional demi memenuhi norma-norma yang dianggap wajar padahal tidak rasional dan cenderung memaksa. Film ini membuat kita bertanya-tanya. Â Apakah menjadi cantik harus disertai dengan rasa sakit? dan Siapa yang sebenarnya bersalah disini?.
Secara tidak langsung, film ini membentuk kesadaran akan pemahaman kritis terhadap standar kecantikan yang ada. Sebenarnya pemahaman ini sangat penting. Tetapi juga harus diikuti dengan tindakan nyata. Seperti memperkaya representasi media, untuk menampilkan berbagai macam standart kecantikan yang ada. Yang tidak memaksakan dan masih di dalam batas wajar. Hal ini juga perlu diimbangi dengan mendorong literasi media untuk melawan narasi yang membatasi. Dan mendukung regulasi yang lebih ketat dalam industri kecantikan.
Akhir kata, film The Ugly Stepsister bukan hanya sekadar cerita fiksi gelap. Film ini juga mencerminkan realitas yang sedang berlangsung. Ketika standar kecantikan masih digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mengontrol tubuh dan identitas tiap wanita.
Film ini menunjukkan pada kita bahwasanya, hal sesederhana dongeng pun juga dapat berfungsi sebagai alat kritik yang menyadarkan kita akan realitas brutal di balik keindahan yang dipaksakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI