Indonesia beberapa hari terakhir tengah menghadapi serangkaian aksi demo masif yang tersebar di banyak kota. Penyebabnya kompleks: mulai dari kemarahan rakyat dengan gaya hidup mewah pejabat yang dinilai tak etis dengan kondisi masyarakat yang sedang struggling dengan ekonomi, perkataan pedas dari para anggota dewan, Presiden yang dianggap tak punya kuasa atas DPR, dan kelakuan biadab aparat yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa driver ojol yang sedang bertugas. Namun dibalik itu semua, banyak orang bertanya-tanya. Ada apa dengan pemerintahan negara kita tercinta?.
Saya coba menghubungkan beberapa kejadian yang ada di dunia perpolitikan kita belakangan. Sejauh ini saya baru bisa menyimpulkan beberapa hal terkait punca masalah ini, yang bisa jadi benar atau bisa saja salah. Perlu digarisbawahi bahwa apa yang akan teman teman baca ini adalah murni hipotesis saya.
Yang pertama terkait dengan kesewenang-wenangan para anggota DPR dalam kebijakan gaji dan tunjangan. Yang menurut pendapat saya, terjadi karena tidak adanya kekuatan oposisi yang bisa mengimbangi koalisi pemerintahan. Â Mari kita coba lihat isi parlemen kita: dari total 580 kursi di DPR, sebanyak 417 nya adalah koalisi Presiden. Sisanya pun, sebanyak 163 kursi tidak menempatkan dirinya sebagai oposisi sepenuhnya. Atau sudah menjadi oposisi tapi hingga sekarang belum terlihat oposisi-nya.
Dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi adalah mekanisme vital untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Seperti yang ditegaskan oleh Agus Sjafari, dosen UNTIRTA dan pengamat sosial-politik, oposisi merupakan "vitamin politik" yang memastikan pemerintah tidak bertindak semaunya sendiri, melainkan selalu diawasi dan dikoreksi. Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan bahwa koalisi pemerintahan saat ini menguasai sekitar 91% kursi DPR, sementara oposisi (yang tidak bisa juga dikatakan sebagai oposisi, hanya mereka berada di luar koalisi) hanya memegang 8,7%. Ketidakseimbangan ini melemahkan fungsi checks and balances yang seharusnya menjadi inti demokrasi, dan justru membuka peluang bagi DPR untuk mengambil keputusan sepihak, termasuk dalam isu-isu sensitif seperti penetapan tunjangan dan fasilitas bagi anggotanya.
Perbandingan dengan negara lain menunjukkan kontras yang jelas: di Inggris, misalnya, oposisi resmi yang disebut Shadow Cabinet berperan aktif menyoroti dan mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga publik mendapat alternatif wacana politik dan kebijakan yang lebih transparan. Hal serupa juga berlaku di Amerika Serikat, di mana keberadaan dua partai besar menciptakan dinamika saling mengawasi yang mencegah dominasi penuh satu kubu. Tanpa oposisi yang kuat, demokrasi mudah tergelincir ke arah praktik oligarkis, di mana elite politik membuat keputusan yang lebih berpihak pada dirinya sendiri ketimbang pada rakyat.
Yang kedua, terkait dengan perkataan ngawur dan pedas dari para pejabat. Dari mulai Ahmad Sahroni yang menyebut mereka yang menuntut pembubaran DPR sebagai "orang tolol sedunia", Nafa Urbach yang mengeluh mengenai kemacetan yang ia alami saat menuju gedung DPR, Uya Kuya yang berjoget-joget saat rapat parlemen, dan masih banyak lagi. Satu hal yang menjadi concern saya terkait hal ini adalah: banyak anggota DPR sekarang yang berasal dari kalangan elitis (artis, selebritis, pengusaha, miliarder, dll). Pemilu 2024 kemarin memang menarik banyak orang dari kalangan tersebut mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Contoh Ahmad Sahroni terkenal sebagai orang yang tajir melintir di Priok. Nafa Urbach dan Uya Kuya adalah artis. Tetapi masalahnya adalah, mereka yang terbiasa hidup sebagai elitis seperti nama-nama yang saya sebutkan tadi tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat karena mereka tidak pernah hidup sebagai mereka. Sehingga POV yang mereka gunakan pun tidak bisa mewakilkan POV dari rakyat. Akibatnya, komentar mereka sering terlihat tidak peka---misalnya mengeluh soal macet menuju DPR, atau menganggap gaji 5 juta "tidak sehat".
Ketidakhadiran kader elite politik dalam realitas keseharian rakyat sering kali berakar dalam budaya elit politik yang terisolasi. Suatu kondisi di mana para legislator dan pejabat menempati "gelembung kekuasaan" yang jauh dari pengalaman rakyat biasa. Sebagai contoh, pakar Indonesia dari Murdoch University, Ian Wilson, menyoroti bahwa peristiwa terbaru mempertegas "semi-feudal detachment of political elites from the realities of the rest of the country". Temuan serupa juga didukung oleh studi empirik global di Indonesia, yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam pandangan antara elit politik dan masyarakat umum mengenai demokrasi dan norma-norma liberal. Dalam konteks ini, budaya elitisme memicu ketidaksensitifan, sehingga pejabat bisa melontarkan pernyataan yang dianggap ngawur karena ketidakmampuan menjembatani wacana pemerintahan dengan kondisi aktual rakyat: sebuah indikator kemunduran komunikasi politik yang makin jauh dari prinsip demokrasi partisipatif.
Yang ketiga, terkait dengan Presiden yang dianggap tidak punya power. Sebenarnya terkait hal ini sudah bisa kita lihat sejak setahun lalu. Fakta bahwa Presiden Prabowo harus meminta "bantuan" Joko Widodo selaku presiden sebelumnya membuka fakta bahwa ia sadar kalau pengaruhnya di perpolitikan sangat lemah. Hal ini kemudian diperkuat dengan berbagai kelakuannya yang lain, diantaranya Prabowo sampai membuat koalisi yang gemuk, dimana hampir semua partai yang mendapat kursi di pemerintahan masuk ke dalam koalisinya. Fakta ini menunjukkan kalau Prabowo sangat takut dengan oposisi, ia sadar pengaruhnya lemah, dan ia takut sewaktu-waktu digulingkan. Karena itu ia mencoba membuat "tameng" yang sangat besar melalui KIM-PLUS, untuk meredam suara oposisi. Saya juga melihat Prabowo menggunakan politik balas budi sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kekuasaannya.