Di sinilah peran sentral kaum intelektual, yakni menumbuhkan kesadaran revolusioner yang mengarah pada perubahan sosial yang fundamental. Menumbuhkan kesadaran revolusioner salah satunya dengan cara membuat mereka sadar akan ketertindasannya. Jika sudah sadar, maka mereka tentu akan berusaha mengubah kondisi tersebut: kaum buruh lepas dari ketertindasannya.
Jika dikontekskan pada kondisi masyarakat kita hari ini, maka kaum intelektual memiliki tugas yang sangat berat. Di tengah masyarakat yang penuh dengan problem mendasar yang menjadikan mereka berada dalam situasi tertindas: bodoh karena akses pendidikan yang tidak merata; hidup miskin karena sistem ekonomi yang hanya menguntungkan sebagian orang; dan hanya jadi objek pelengkap dalam sistem demokrasi yang sebatas prosedural, kaum intelektual dituntut menjalankan tugasnya untuk setidaknya menyadarkan masyarakat akan ketertindasan mereka.Â
Kaum intelektual bisa saja memilih untuk bersikap tak acuh seolah tidak terjadi apa pun di sekitarnya. Faktanya, memang hal ini yang jamak terjadi. Kaum intelektual berada di menara gading, jauh dari masalah lingkungannya. Seperti kata Rendra dalam puisinya, berpikir tapi terpisah dari masalah kehidupan. Lantas, apa artinya.
Sebagai contoh aktual, mari kita tengok keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada di sekitar kita. Sudah berapa banyak penelitian-penelitian, baik yang dilakukan mahasiswa pada setiap strata maupun dosen, memberikan tawaran kebijakan atau jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Dari aspek ontologi dan epistemologi mungkin penelitian tersebut sempurna, tapi cacat pada aspek aksiologi: kebermanfaatan. Banyak dari penelitian-penelitian tersebut akhirnya hanya berjajar rapi di rak-rak perpustakaan untuk pada waktunya nanti berdebu.
Intelektual tradisional vs Intelektual organik
Gramsci melalui salah satu tulisannya yang terkumpul dalam buku Prison Notebooks berpandangan bahwa setiap kelas sosial melahirkan lapisan kaum intelektualnya sendiri. Kelas sosial bawah, menengah, maupun atas memiliki kaum intelektualnya sendiri. Hanya karena kekhasan kegiatan intelektualnya saja, mereka seolah terisolasi dan seperti membentuk kelas sosial sendiri. Seorang akademisi yang lahir dari lingkungan kelas bawah, misalnya, karena aktivitasnya (berkutat dengan buku, meneliti, berdialetika, dan lain sebagainya) yang cenderung berbeda dengan orang-orang di sekitarnya, akhirnya terlihat berbeda kelas sosial dengan rekannya sesama kelas bawah. Terlebih lagi jika akademisi tersebut tidak pernah terlibat dalam setiap praksis kelas sosialnya. Intelektual semacam ini tidak memiliki keberpihakan kepada kelas sosialnya. Gramsci menyebut mereka Intelektual tradisional: kaum intelektual yang berada di menara gading yang seolah jauh dari masalah di sekitarnya.
Berbeda dengan kaum intelektual tradisional yang cenderung terisolasi dari praksis masyarakat sekitarnya, terdapat golongan kaum intelektual organik yang meleburkan diri dalam aktivitas lingkungannya. Intelektual organik memiliki kesadaran bahwa mereka terkait dan terikat dengan masyarakat tertentu. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka, mengulas dengan jelas tentang kaum intelektual organik khas pemikiran Gramsci ini.
Pengejawantahan intelektual organik a la gramsci dalam realitas hari ini dapat dilihat pada sosok intelektual yang terus menyuarakan penegakkan keadilan di tengah bobroknya sistem hukum, misalnya. Ada juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terus memperjuangkan hak-hak golongan yang tertindas: kaum miskin nan papa, minoritas dalam konteks apa pun, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Bahkan, anggota dewan yang terhormat pun dapat dikategorikan sebagai intelektual organik jika sepak terjangnya selalu dalam rangka mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Pilihan Hari Ini Untuk Kaum Intelektual
Dalam konteks hari ini, menjadi seorang intelektual organik terlihat lebih relevan. Menumpuknya masalah di tengah masyarakat, serta semakin merosotnya kualitas hidup mereka di tengah pandemi harusnya membuat inteletualitas seorang intelek terpanggil untuk berperan serta mengatasi semua itu. Intelektual organik berani mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif masyarakat, serta berpihak pada kaum yang marjinal dan terpinggirkan. Mereka, kaum intelektual organik, mampu mengungkapkan secara gamblang apa yang dirasakan oleh rakyat. Gramsci memberi batasan yang jelas; intelektual tradisional mengartikulasikan realitas di sekitarnya dalam bentuk teori dan konsep-konsep yang cenderung melangit, sebaliknya intelektual organik berbicara menggunakan bahasa masyarakat yang mudah dipahami dan melalui media-media yang akrab dengan mereka, seperti praktik sehari-hari, pandangan hidup, atau mungkin melalui sistem kepercayaan mereka.
Nah, Quo Vadis kaum intelektual.